Perubahan iklim berdampak pada kehidupan lebah penghasil madu baik dari sisi eksosistem tempatnya hidup, ketersediaan pakan, serta dampak langsung pada tubuh lebah. Upaya yang dilakukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sebagai pengelola hutan di tingkat tapak diharapkan bisa menjaga kelestarian kehidupan serangga penghasil hasil hutan bukan kayu (HHBK) unggulan itu.
Demikian terungkap pada diskusi Pojok Iklim di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rabu (20/12/2017). Pojok Iklim adalah forum multi pihak yang menjadi wadah berbagi pengetahuan dan pengalaman praktik terbaik dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Turut hadir dalam diskusi tersebut Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim Sarwono Kusumaatmadja dan Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan bidang Industri dan Perdagangan Internasional Laksmi Dhewanthi. Diskusi dipimpin oleh Kepala Pusat Kebijakan Strategis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Herman Hermawan.
Dalam kesempatan tersebut, Kepala KPH Puncak Ngegas-Batulanteh, NTB, Julmansyah menuturkan, hasil kerja di tingkat tapak bersama para pihak mengungkap informasi tentang dampak perubahan iklim terhadap lebah madu. Dia juga menyatakan, sudah ada penelitian tentang dampak perubahan iklim pada ekosistem lebah madu di NTB yang dilakukan pada tahun 2016.
Studi melibatkan Universitas Mataram, UNDP, dan Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian LHK. Studi dilakukan di tiga kecamatan, yaitu kecamatan Empang di KPH Ampang-Plampang, kecamatan Lenanguar KPH Orong Telu Brah Beh, dan kecamatan Batulanteh di KPH Batulanteh.
Hasil studi mengungkapkan, wilayah hutan di kecamatan Batulanteh memiliki tingkat keterpaparan ekosistem lebah terhadap perubahan iklim yang paling rendah.
Sementara kecamatan Lenangguar dan kecamatan Emapang memiliki indeks keterpaparan yang lebih tinggi dikarenakan rendahnya jumlah tumbuhan pakan lebah, tingkat pancang dan pada tingkat tiang.
Sementara untuk sensitivitas ekosistem lebah madu hutan, indeks pada kecamatan Empang tercatat paling tinggi karena tingginya pengaplikasian pestisida dan jumlah penduduk yang beraktivitas di dalam hutan.
Untuk kapasitas adaptasi, kecamatan Batulanteh memiliki indeks yang lebih tinggi. Ini diukur berdasarkan indikator diantaranya rehabilitasi lahan, implementasi teknologi panen, kelembagaan kelompok, dan kebijakan pengelolaan hutan setempat.
Sedangkan untuk kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim, kecamatan Batulanteh mencatat indek yang lebih tinggi karena terkait dengan kemampuan rehabilitasi lahan yang lebih luas, adanya kelembagaan kelompok yang aktif dalam mensosialisasikan cara panen lestari dan pengetahuan masyarakat tentang aturan atau kebijakan terkait lebah madu dan pengamanan ekosistem hutan yang lebih baik dibandingkan dengan kecamatan Lenangguar dan Kecamatan Empang.
Julmansyah menekankan perubahan iklim pasti akan mempengaruhi kehidupan lebah madu hutan, karena serangga itu bernavigasi dengan patokan matahari dan suhu bumi. “Perubahan iklim pasti akan berdampak pada lebah madu,†katanya.
Dia menjelaskan, sebagai HHBK, madu hutan merupakan salah satu komoditas andalan KPH Batulanteh. Pihaknya bekerjasama dengan Jaringan Madu Hutan Sumbawa (JMHS). Kerja sama itu berhasil mendongkrak harga madu hutan di tingkat petani dari Rp15.000 per kilogram menjadi Rp25.000, bahkan Rp70.000 per kilogram.
Untuk pemasaran, kini sudah dibangun outlet pemasaran khusus untuk meningkatkan citra madu hutan sumbawa. Pemasaran juga dilakukan melalui multi level marketing. “Bahkan mulai tahun 2017, petani hutan sudah mulai membayar PNBP atas madu hutan yang dihasilkan,†katanya. *