Jakarta, 19 Juli 2017: Restorasi hutan mangrove mampu memberi manfaat ganda. Selain menyerap karbon dalam jumlah besar sebagai upaya pencegahan perubahan iklim, restorasi mangrove tersebut juga berimbas pada peningkatan pendapatan masyarakat.
“Restorasi dan perlindungan ekosistem mangrove memberi manfaat untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta kesejahteraan masyarakat secara berkesinambungan,†kata Direktur Yayasan Gajah Sumatera (Yagasu) Bambang Suprayogi pada forum diskusi Pojok Iklim di kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta, Rabu (19/7/2017).
Pojok iklim adalah forum diskusi multipihak untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Hadir dalam kesempatan tersebut, Staf Ahli Menteri bidang Ekonomi Sumber Daya Alam KLHK Agus Justianto, dan Staf Ahli Menteri bidang Perdagangan Internasional KLHK Laksmi Dhewanthi.
Bambang menjelaskan, Yagasu berpengalaman melakukan restorasi mangrove pasca tsunami seluas 3.400 hektare sebanyak 10,5 juta batang pada periode 2005-2011. Yagasu kemudian mengembangkan Coastal Carbon Corridor Aceh-Sumatera Utara pada tahun 2011. Program tersebut didanai konsorsium sejumlah perusahaan yang tergabung dalam Livelihoods Funds dan merupakan program karbon kredit pertama di Indonesia. “Program ini berjangka 20 tahun mulai tahun 2011-2033,†kata Bambang.
Program tersebut berfokus pada kawasan mangrove milik rakyat, atau di luar kawasan hutan negara. Dalam pelaksanaannya pun melibatkan sepenuhnya masyarakat. Program tersebut berhasil merestorasi mangrove sepanjang 1.107 kilometer dengan luasan 456.896 hektare.
Bambang menjelaskan, program tersebut kemudian divalidasi oleh SGS Global Services dengan menggunakan skema Voluntary Carbon Standard (VCS) pada tahun 2015. “Hasilnya seluas 5.000 hektare telah memenuhi kriteria untuk sertifikasi karbon dengan serapan karbon sebanyak 144.128 ton setara karbondioksida (CO2). Dengan risiko sebesar 13%, Voluntary Carbon Unit (VCU) yang diterbitkan sebanyak 125.391 ton setara CO2. Sesuai estimasi, maka dalam 20 tahun pertama program tersebut akan menyerap 2,5 juta ton setara CO2.
Bambang mengungkapkan, berdasarkan hasil pemantauan, pelaporan dan verifikasi (MRV), terjadi perbaikan kondisi ekosistem. Parameternya berupa keberadaan 23 spesies mangrove, 8 spesies mamalia, 16 spesies reptil dan amphibia, 32 spesies invertebrata, 73 spesies burung, 41 spesies ikan dan 9 spesies burung migran.
“Jenis mangrove tumbuh secara alami dari lokasi restorasi adalah Rhizophora. Seperti Avicennia, Xylocarpus, Bruguiera, Sonneratia dan Acanthus, sehingga suksesi alami tersebut mampu membentuk hutan mangrove yang sempurna,†kata Bambang.
Selain itu produktivitas keanekaragaman hayati komersial juga naik. Contoh, produksi kepiting mencapai 7-12 ton, udang 3–5 ton, dan ikan 500–700 ton setiap pekan secara berkelanjutan non stop sepanjang tahun.
Ini tentu saja bermanfaat pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. “Hasil MRV yang dilakukan, rata-rata pendapatan masyarakat yang awalnya Rp1,8 juta per keluarga pada tahun 2012, naik hingga 57% menjadi Rp3,07 juta per keluarga setelah 3 tahun program tersebut berjalan,†kata Bambang.
Eksistensi mangrove memang berdampak besar pada produk-produk perikanan. Meski demikian, keberadaan mangrove juga mampu menyediakan berbagai produk pangan dan minuman. Produk mangrove juga bisa diolah menjadi berbagai produk organik seperti pewarna batik.
Dari capaian tersebut, Yagasu memperluas program Coastal Carbon Corridor ke Jawa dan Bali dengan dukungan Yayasan Kehati. Program yang dilakukan diharapkan bisa menyerap 1,04 juta ton setara CO2 per tahun pada areal verifikasi seluas 9.600 hektare di Sumatera dan Jawa. *