Bioenergi berbasis biomassa hutan sejatinya sangat potensial untuk menjawab tantangan pembangunan berklanjutan. Bioenergi berbasis biomassa hutan bisa memenuhi kebutuhan energi nasional sekaligus mengurangi pelepasan gas rumah kaca (GRK) untuk mendukung tercapainya komitmen Indonesia pada Persetujuan Paris.
Ketua Masyarakat Penggiat Energi Biomassa Hutan Indonesia, Nanang Rofandi Ahmad, mengingatkan diperlukan dukungan kebijakan dan insentif yang positif dengan mengkoordinasikan sinergi lintas sektor seperti tercantum dalam materi dokumen kontribusi pengurangan emisi GRK yang diniatkan (NDC/Nationally Determined Contribution) yang sudah didaftarkan Indonesia sesuai Persetujuan Paris. “Bentuknya bisa berupa Instruksi Presiden,†kata Nanang saat diskusi Pojok Iklim di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rabu (29/11/2017).
Pojok Iklim adalah forum multi pihak yang difasilitasi kementerian LHK dan menjadi tempat berbagi praktik terbaik untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Nanang menjelaskan, beberapa jenis tanaman hutan yang menghasilkan lignoselulosa direkomendasikan sebagai sumber daya energi terbarukan. Tanaman itu antara lain akor, kaliandra, ekaliptus, lamtorogung, gamal, pilang, weru, dan bambu. Tanaman hutan bisa dimanfaatkan dengan berbagai cara. Secara mekanis bisa dimanfaatkan menjadi kayu bakar dan pelet kayu, sementara yang ditambah pemanasan bisa menjadi arang kayu dan bio coal.
Tanaman hutan juga bisa dimanfaatkan melalui teknologi biokimia untuk menjadi bioetanol. Sementara teknologi terbaru adalah gasifikasi termokimia yang mengubah biomassa hutan menjadi beberapa produk seperti biogas, biometanol, dan biohidrogen.
Nanang menyatakan, biomassa hutan juga memiliki keunggulan untuk dikembangkan karena bisa dimanfaatkan dalam berbabagi skala usaha. Mulai dari skala rumah tangga hingga pembangkit listrik skala besar. “Bioenergi berbasis biomassa hutan juga bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan transportasi,†katanya.
Pengembangan bioenergi berbasis biomassa hutan di Indonesia memiliki peluang yang sangat baik. Menurut Nanang, negara maju yang memiliki paten teknologi terbaru tidak bisa memanfaatkannya karena kekurangan pasokan sumber biomassa hutan. Sementara Indonesia memiliki sumber daya hutan yang luas. Di sisi lain ada komitmen dalam Persetujuan Paris, bahwa negara maju harus melakukan transfer teknologi, mobilisasi dana, serta peningkatan kapasitas.
Nanang menyatakan, sejumlah negara saat ini cukup serius dalam pengembangan bioenergi berbasis biomassa hutan. Amerika Serikat mislanya, memberikan insentif PES (Payment for Environmental Services) bagi pelaku bisnis industri bubur kayu dan kertas yang memanfaatkan limbah black liquor menjadi bioenergi untuk mensubstitusi energi fosil dan menghasilkan pengurangan emisi karbon. Amerika Serikat juga mengembangkan biometanol berbasis biomassa hutan untuk transportasi dan listrik.
Sejumlah negara seperti Jerman, India, dan China ini juga sedang mengembangkan hutan tanaman dengan jenis tanaman berdaur pendek untuk mendukung pengembangan energi berbasis biomassa hutan dan mengurangi ketergantungan terhadap batu bara. Di Jerman, kata Nanang, pemerintah mensubsidi petani yang mengubah tanaman pertani dengan tanaman kayu jenis Poplar dengan daur 4 tahun sebanyak 500 euro per hektare.
Indonesia harus menangkap peluang pengembangan energi berbasis biomassa hutan. Untuk itu selain kebijakan di dalam Negeri, Indonesia juga harus pro aktif membangun kemitraan dan kerjasama bilateral (G to G) dengan negara maju pemilik teknologi. Pemerintah, kata Nanang, juga harus mengkoordinasikan sinergi lintas sektor untuk membangun percontohan praktik terbaik pengembangan energi terbarukan yang terintegrasikan hulu–hilir.*