Eksistensi Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) berdampak besar pada berkurangnya kebakaran hutan dan lahan, penyebab emisi gas rumah kaca. KPH yang merupakan unit pengelolaan hutan terkecil di tingkat tapak berperan nyata untuk melakukan pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan.
Demikian terungkap pada diskusi Pojok Iklim di kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Jakarta, Rabu (20/12/2017). Pojok Iklim adalah forum multi pihak untuk berbagi pengalaman dan praktik terbaik dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Hadir sebagai pembicara pada kesempatan tersebut Kepala KPH Lakitan-Bukit Cogong Sumatera Selatan Edi Cahyono. Turut hadir dalam diskusi yang dipandu Kepala Pusat Kebijakan Strategis KLHK Herman Hermawan, Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Sarwono Kusumaatmadja dan Staf Ahli Menteri LHK bidang Industri dan Perdagangan Internasional Laksmi Dhewanthi.
Edi memaparkan kondisi KPH Lakitan-Bukit Cogong yang rawan kebakaran. Memiliki luas pengelolaan hutan 84.154 hektare, KPH Lakitan-Bukit Cogong juga diamanatkan untuk melayani urusan terkait kehutanan di Kabupaten Musi Rawas, Kabupaten Musi Rawas Utara, dan Kota Lubuklingau. “Dalam wilayah pengelolaan kami ada sekitar 25.571 hektare lahan gambut yang rawan kebakaran,†kata Edi.
Dia mengungkapkan, pada tahun 2015 terdapat sekitar 435 hotspot di KPH Lakitan-Bukit Cogong dengan luas kebakaran mencapai 380 hektare. Musim kemarau yang berkepanjangan ditambah dengan belum kuatnya kelembagaan dan kapasitas KPH menjadi salah satu penyebab banyaknya titik api yang muncul. “Kesadaran masyarakat dan pihak-pihak lain untuk bersama-sama mencegah kebakaran juga masih rendah,†katanya.
Pengalaman tahun 2015 dijadikan pelajaran untuk memperbaiki upaya pengendalian kebakaran hutan. Saat ini kapasitas kelembagaan dan SDM serta dukungan ketersediaan anggaran sudah lebih baik. Sinergitas antara pemangku kepentingan pun meningkat. “Kesadaran masyarakat tentang bahaya kebakaran juga semakin meningkat,†katanya.
Jumlah hotspot di KPH Lakitan-Bukit Cogong pun kemudian turun secara drastis. Pada tahun 2016, terdapat 113 hotspot dengan luas sekitar 49 hektare dimana 12 hektare diantaranya ada di kawasan hutan produksi. Sedangkan untuk tahun 2017, sampai saat ini jumlah hotspot yang terpantau hanya terdapat 24 titik seluas sekitar 20 hektare dimana hanya 4 hektare yang berada di kawasan hutan produksi.
Edi menguraikan, beberapa langkah yang dilakukan KPH untuk mengendalikan kebakaran hutan dan lahan. Diantaranya adalah melakukan pemetaan lahan gambut rawan terbakar. KPH juga memperkuat brigade pengedalian kebakaran dengan 15 orang personil terlatih. Langkah yang juga penting diambil adalah membentuk masyarakat peduli api (MPA) di 3 desa rawan kebakaran.
“Kami juga membentuk posko pemantauan hot spot. Begitu ada informasi hotspot, kami langsung melakukan ground check,†katanya.
Edi menjelaskan, salah satu penyebab kebakaran hutan dan lahan adalah kebiasaan masyarakat membuka lahan untuk pertanian dan perkebunan dengan cara membakar. Untuk menjawab kebiasaan ini, pihaknya memperkenalkan teknologi pembuatan arang terpadu yang dikembangkan Pusat Litbang Hasil Hutan Kementerian LHK. Teknologi itu bisa menghasilkan beragam produk seperti cuka kayu untuk pengawet makanan dan pengental getah karet serta arang kompos bioaktif (arkoba) sebagai pupuk organik.
“Jadi ketimbang dibakar di lapangan, lebih baik limbah kayu diolah menjadi produk yang bernilai,†katanya.
KPH Lakitan-Bukit Cogong juga mendorong praktik agroforestry oleh masyarakat. Praktik ini bisa meningkatkan produktivitas lahan tanpa pembakaran lahan. *