Inovasi teknologi sederhana dan tepat guna bisa mendukung upaya pengendalian perubahan iklim. Salah satu yang layak untuk dikaji adalah sistem pembangkit listrik tenaga kombinasi.
Inovasi tersebut dikembangkan Ir. Sarwono, seorang peneliti mandiri dari Pemalang, Jawa Tengah yang didukung rekan-rekannya. Pada inovasi tersebut, Sarwono yang dibantu sejumlah rekan memadukan setidaknya tiga jenis pembangkit listrik bersumber energi terbarukan.
“Ini adalah tiga pembangkit listrik pada satu kesatuan sistem, yaitu tenaga surya, tenaga angin, dan tenaga air,†kata dia pada diskusi Pojok Iklim di kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Jakarta, Rabu (13/9/2017).
Pojok iklim adalah forum diskusi multipihak untuk berbagi informasi tentang aksi-aski adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Sarwono menuturkan, pembangkit listrik energi terbarukan adalah keharusan di tengah terus berkurangnya cadangan bahan bakar fosil. Apalagi, pemanfaatan bahan bakar fosil memberi dampak buruk pada perubahan iklim.
Sayangnya, lanjut dia, masing-masing pembangkit energi listrik terbarukan memiliki kelemahan. “Makanya kami kombinasikan dua jenis atau lebih pembangkit listrik,†kata Sarwono.
Pembangkit listrik tenaga surya misalnya, memiliki kelemahan berupa kebutuhan lahan yang luas dan hanya mampu memproduksi energi di siang hari. Sementara pembangkit listri tenaga angin, memiliki kelemahan saat menghadapi kecepatan angin yang tidak konstan. Selain itu, butuh kecepatan angin yang cukup tinggi agar bisa memutar turbin. Sedangkan pembangkit listrik tenaga air mikro, kerap menghadapi kesulitan saat musim kemarau.
Sarwono menyatakan, inovasi yang dikembangkannya menjawab kelemahan yang ada pada pembangkit energi listrik terbarukan. Dia menuturkan, sistem pembangkit tenaga listrik tenaga kombinasi dibuat secara bertingkat sehingga tidak butuh lahan yang luas untuk penempatan panel surya guna penyerapan energi matahari.
Menara yang dibangun sekaligus juga menjadi tiang untuk trubin angin yang dimanfaatkan untuk memanen energi angin. Turbin angin pun dibuat inovatif sehingga cukup dibutuhkan kecepatan angin sekitar 30 kilometer/jam untuk menggerakannya.
Sementara di bagian bawah, ada turbin air yang berputar memanfaatkan energi air. Turbin pun dimodifikasi untuk memanfaatkan tekanan gravitasi sehingga tak butuh tekanan air yang kuat untuk memutarnya.
Sarwono mengklaim, sistem pembangkit listrik tenaga kombinasi yang dibuatnya bisa menghasilkan hingga 6.000 watt listrik. Sementara investasi pembuatannya hanya sekitar Rp227 juta saja.
Sarwono menyatakan, proses pengakuan hak paten atas inovasi yang dikembangkan sedang dalam proses di Kementerian Hukum dan HAM. Meski demikian, sudah ada pernyataan perlindungan dari Kementerian Hukum dan HAM, bahwa pemilik paten atas inovasi yang dikembangkan adalah dirinya.
Sarwono juga menyatakan, sudah ada 14 daerah yang akan mengimplementasikan inovasi sistem pembangkit listrik kombinasi. Meski demikian, dia berharap agar inovasi tersebut bisa diimplementasikan lebih luas.
Diskusi Pojok Iklim yang dipandu oleh Kepala Pusat Kebijakan Strategis KLHK, Herman Hermawan, sebagai moderator berjalan cukup interaktif. Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Sarwono Kusumaatmadja yang juga turut hadir pada diskusi menuturkan, sejatinya banyak teknologi sederhana dan tepat guna yang bisa diimplementasikan untuk adapatasi dan mitigasi perubahan iklim.
“Teknologi sederhana dan tepat guna layak dilirik ketimbang fokus pada teknologi yang rumit,†katanya. *