Peningkatan penggunaan merkuri atau air raksa membuat dampak negatif perubahan iklim semakin parah. Penyakit berbahaya yang disebabkan tingginya kadar merkuri di dalam tubuh manusia pun akan meningkat.
Demikian terungkap pada diskusi Pojok Iklim di kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta, rabu (21/2/2018). Hadir dalam kesempatan tersebut dokter Jossep F. William, Co-Founder Medicuss Foundation, sebuah organisasi kemanusian yang digawangi dokter dan tenaga kesehatan. Turut hadir dalam kesempatan tersebut Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim Sarwono Kusumaatmadja. Diskusi dipimpin oleh Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Hijau Doddy S. Sukardi.
William menjelaskan, sejatinya merkuri secara alamiah ada di alam. Namun tersimpan dalam kondisi tak membahayakan manusia, seperti di dalam perut bumi, es di antartika atau di biomassa hutan. Sayangnya, akibat berbagai aktivitas manusia, merkuri terlepas ke udara. "Adanya aktivitas pemanfaatan merkuri untuk penambangan emas, atau kebakaran hutan meningkatkan konsentrasi merkuri di udara", katanya.
Merkuri di udara kemudian turun ke lautan dan terserap oleh ikan, terutama ikan predator yang mengakumulasi merkuri dari ikan yang dimangsanya. Jika ikan ini dikonsumsi akan meningkatkan konsentrasi merkuri di dalam tubuh manusia selain dari paparan udara.
William mengungkapkan sebuah penelitian yang dilakukan di Selat Malaka dimana ikan kembung di sana memiliki konsentrasi merkuri cukup tinggi. "Kondisi ini tentu perlu kita cermati bersama", katanya.
Dia mengingatkan peningkatan konsentrasi merkuri di dalam tubuh bisa membuat menurunnya kecerdasan dan melemahnya syaraf yang berujung pada kelumpuhan. Penyakit ini populer dengan sebutan sindrom Minamata, merujuk ledakan penyakit tersebut di Teluk Minamata, Jepang
"Gejalanya mirip dengan penyakit alzheimer, dimana penderita mengalami penurunan kemampuan gerak, berpikir, bicara dan daya ingat", kata William.
Dia mengingatkan, pengendalian merkuri harus menjadi perhatian semua pihak. Apalagi, beberapa wilayah di Indonesia, terjadi penggunaan merkuri secara besar-besaran dan tidak bertanggung jawab. Daerah tersebut terutama tempat pertambangan emas ilegal seperti di Bombana (Sulawesi Tenggara), Poboya (Sulawesi Tengah), Gunung Botak (Pulau Buru, Maluku), dan Cisitu serta Cibeber (Lebak, Banten).
Penelitian yang dilakukan Medicuss Foundation mengungkapkan kadar merkuri dalam tubuh masyarakat di lokasi penambangan tersebut sudah jauh di atas ambang rujukan. Menurut William, dari ambang rujukan maksimal 9 mikrogram per liter, ada penduduk di sekitar Gunung Botak yang di dalam tubuhnya terdapat merkuri sebanyak 127 mikrogram per liter. "Di tempat-tempat lain seperti di Cisitu atau Sekotong Lombok, kasus seperti itu juga ditemukan", katanya.
William melanjutkan, di lokasi tersebut, penduduk yang menunjukan gejala menderita penyakit akibat kelebihan kadar merkuri di dalam tubuh juga bisa dengan mudah ditemukan.
Dia merespons positif langkah pemerintah yang meratifikasi Konvensi Minamata untuk pengendalian merkuri di tanah air Indonesia.
Trisia Megawati