Implementasi teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture and Storage/CCS) menjadi alternatif dalam mitigasi bencana perubahan iklim. Saat ini, CCS adalah satu-satunya teknologi yang mampu memitigasi lepasnya emisi gas rumah kaca (GRK) dari aktivitas pemanfaatan bahan bahan fosil pada industri dan pembangkit listrik skala besar.
Demikian terungkap pada diskusi Pojok Iklim di kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta, Rabu (20/9/2017). Pojok Iklim adalah forum diskusi multi pihak yang memaparkan berbagai aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Program Manager Gundih CCS Project yang juga pakar dari ITB, Dr Mochammad Rachmat Sule menjelaskan, teknologi ini pada prinsipnya adalah menangkap kembali karbondioksia (CO2) yang terlepas dari berbagai aktivitas penggunaan bahan bakar fosil untuk kemudian disimpan kembali ke dalam perut bumi pada sumur-sumur migas yang sudah kering.
Pada saat yang sama, karbondioksida yang ditangkap bisa dimanfaatkan untuk mengoptimalkan produksi minyak dan gas bumi pada sebuah sumur minyak (Enhance Oil Recovery/EOR). Karbondioksida yang diinjeksi bisa meningkatkan volume hidrokarbon sehingga cadangan minyak bisa dioptimalkan.
“Pemanfaatan teknologi CCS untuk EOR sangat potensial di Indonesia karena banyak sumur migas yang produksinya menurun padahal masih tersimpan cadangannya. Apabila dilakukan EOR, maka sumur itu masih bisa dioptimalkan,†kata Rachmat.
Di Indonesia sempat ada beberapa proyek kajian implemetasi CCS. Namun yang saat ini masih berjalan adalah proyek yang sedang dikerjakan ITB bersama Pertamina dan Universitas Kyoto, Jepang di lapangan Gundih, Jawa Tengah. Proyek kajian tersebut mendapat sokongan dana dari beberapa lembaga donor internasional, termasuk ADB.
“Nantinya kajian yang kami lakukan akan diujicoba sebagai pilot project,†kata Rachmat.
Dari skenario yang disiapkan, proyek CCS yang akan dilaksanakan Gundih akan menyerap sekitar 10.000 ton CO2 per tahun dari industri pengolahan migas di Gundih. Biaya yang harus dikeluarkan untuk tujuan tersebut sekitar 55 dolar AS per ton CO2.
Rachmat mengakui, jumlah biaya yang dikeluarkan cukup besar. Namun, katanya, pembelajaran tentang implementasi CCS penting untuk dilakukan. Tujuannya agar Indonesia memiliki pengalaman dan ahli dalam implementasi CCS. Ini untuk mengantisipasi jika teknologi tersebut dijadikan semacam “kewajiban†untuk diimplementasikan di Indonesia oleh negara-negara maju.
Dia melanjutkan, di negara-negara maju, teknologi CCS sudah termasuk lazim diimplementasikan. Itu tak lepas dari kebijakan yang diterapkan. Norwegia misalnya, memberlakukan pajak karbon hingga 60 dolar AS per ton CO2. Ini membuat perusahaan migas di sana berlomba-lomba mengimplementasikan CCS dan akhirnya bisa menekan biaya implementasi teknologi tersebut menjadi sekitar 17 dolar AS per ton CO2. *