Jakarta (24/05/2017): Agama dan kepercayaan memiliki peran penting dalam merespons fenomena perubahan iklim. Pasalnya, agama mampu mengubah perilaku 6,7 miliar orang atau sekitar 85% dari jumlah penduduk dunia untuk mendukung mitigasi perubahan iklim.
Demikian terungkap dalam forum diskusi Pojok Iklim dengan tema “Peran Agama untuk Perubahan Iklim†yang diselenggarakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta, Rabu (24/5/2017).
Hadir sebagai pembicara kunci, Ketua Pusat Pengajian Islam Universitas Nasional, Dr Fachruddin M. Mangunjaya. Turut hadir dalam kesempatan tersebut Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian LHK Sarwono Kusumaatmadja dan Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi Sumber Daya Alam Agus Justianto.
Menurut Fachruddin ada sejumlah alasan mengapa agama dan kepercayaan bisa berdampak pada mitigasi perubahan iklim. Pertama adalah memiliki konstituen yang jelas dan nyata. Dia mengungkapkan, di Indonesia ada 240 juta orang pengikut agama sementara di Asia, jumlahnya mencapai 3 miliar orang. Secara keseluruhan di dunia, ada 6,7 miliar pengikut agama, atau mencapai 85% dari total penduduk dunia. “Jadi agama followernya lebih jelas ketimbang media sosial,†kata dia.
Program eco masjid dengan memasang panel surya di Maroko. (Dokumen: Presentasi narasumber)
Alasan kedua adalah adanya rujukan akan keyakinan berupa kitab suci seperti Al Quran dan Injil maupun kitab ilmu keagamaan seperti fiqih dan tafsir. Banyak ayat-ayat di kitab suci yang secara tegas dan jelas mengajak pengikut agama untuk berperilaku ramah lingkungan dan mencegah perubahan iklim.
“Agama juga mengajarkan untuk saling menghormati kepada semua jenis kehidupan di bumi,†kata Fachruddin.
Dia melanjutkan, alasan lain mengapa agama bisa berdampak pada pengendalian perubahan iklim adalah kemampuannya menjinakan gaya hidup. Agama menganjurkan manusia untuk berperilaku hemat dan tidak mubazir yang berdampak pada miotigasi perubahan iklim.
Dua alasan terakhir adalah agama menganjurkan untuk saling berbagi dan bertanggung jawab yang apabila dilakukan bisa memberi dampak pada perubahan iklim.
Fachruddin menekankan, ada beberapa hal lain yang bisa mengubah perilaku manusia. Yaitu pendidikan, penegakan hukum, dan permintaan pasar. “Tingginya permintaan akan minyak sawit mendorong orang untuk membuka kebun sawit,†katanya.
Namun Fachruddin menekan, faktor yang paling berpengaruh adalah agama dan kepercayaan. Dia menjelaskan, ada banyak kontribusi yang diberikan agama dan kepercayaan dalam mitigasi perubahan iklim.
Misalnya dalam pemanfaatan aset seperti rumah ibadah. Pengikut agama bisa didorong untuk lebih ramah lingkungan dalam pemanfaatan rumah ibadah. “Tidak boros dalam berwudhu atau memanfaatkan energi terbarukan untuk penerangan gereja,†kata Fachruddin.
Kontribusi lainnya adalah dalam mempengaruhi gaya hidup pengikutnya. Fachruddin mencontohkan, dalam pelaksanaan ibadah haji, bisa mulai dipikirkan soal carbon offset dari setiap jemaahnya. “Kalau setiap orang mengemisi 2,83 metrik ton (MT) setara CO2 dan ada 230.000 jemaah haji Indonesia, maka ada pelepasan emisi sebanyak 650.900 MT CO2,†papar Fachruddin.
Sejatinya, sudah ada beberapa implementasi nyata kontribusi agama dalam mitigasi perubahan iklim. Sebut saja fatwa Majelis Ulama Indonesia terkait peestarian lingkungan hidup dan kehutanan. Terakhir adalah adanya fatwa MUI tentang larangan membakar hutan dan lahan. Fachruddin menyatakan, bentuk kontribusi seperti ini perlu terus didorong. *