Jakarta, 6 Juli 2017: Pemanfaatan energi bersih terbarukan secara global menunjukan tren meningkat. Situasi ini sangat menggembirakan mengingat sektor energi sebagai sumber utama dari perubahan iklim merupakan kunci dari pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Meski demikian, tetap percepatan pemanfaatan energi bersih dan terbarukan masih diperlukan.
Demikian dijelaskan Deputi Direktur Eksekutif Badan Energi Internasional (EIA) Paul Simons pada forum diskusi Pojok Iklim di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kamis (6/7/2017). Forum diskusi pojok iklim merupakan forum multipihak yang menjadi tempat berbagi pengalaman dan pembelajaran upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Paul Simons menjelaskan pasar energi global berubah sangat cepat belakangan ini. Setengah dari pertumbuhan kebutuhan pada tahun 2016 dipasok dari energi terbarukan. Sementara kapasitas pembangkit tenaga nuklir mencapai rekor tertinggi sejak tahun 1993. Contoh lain peningkatan permintaan energi bersih adalah penjualan mobil listrik. “Penjualan mobil listrik naik hingga 40% pada tahun 2016, sebuah rekor baru dalam setahun,†katanya.
Paul Simons menyatakan situasi ini sangat positif mengingat sektor energi adalah kunci dari pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Dia mengungkapkan, secara global saat ini masih ada 1,2 miliar jiwa yang belum memperoleh pasokan listrik. Sementara 2,7 juta jiwa lainnya masih memanfaatkan energi kotor untuk kebutuhan dapur.
Sektor energi, ungkap Paul Simons, juga menjadi penyumbang utama emisi gas rumah kaca, dengan 2/3 dari total secara global dan menjadi sumber polusi udara yang dihubungkan dengan kematian secara prematur mencapai 6,5 juta jiwa setiap tahunnya.
Pemanfaatan energi bersih terbarukan bisa membawa kita mencapai ambisi yang tertuang dalam Persetujuan Paris dimana kenaikan suhu global dijaga kurang dari 2% dibandingkan sebelum era industrialisasi. Berdasarkan analisis IEA, emisi gas rumah kaca global yang diakibatkan sektor energi dalam tiga tahun terkahir (2014-2016) tetap datar meski ada pertumbuhan ekonomi. Kondisi ini dipicu oleh pengurangan emisi gas rumah kaca di Amerika Serikat dan Tiongkok, yang merupakan negara emiter gas rumah kaca terbesar di dunia saat ini. “Mendorong adanya teknologi energi untuk mencapai karbon netral pada tahun 2060 bisa mendukung tercapainya ambisi dalam Persetujuan paris,†kata Paul Simons.
Masalahnya, lanjut dia, potensi pengembangan energi bersih terbarukan saat ini belum dioptimalkan. Beberapa memang sudah berada pada trek yang benar seperti pada pemanfaatan tenaga surya dan tenaga angin serta mobil elektrik. Beberapa lainnya, butuh akselerasi seperti pada perangkat elektronik, nuklir, dan industri. Sementara yang lainnya malah tertinggal seperti pada efisiensi pembangkit batu bara, bangunan, dan teknologi penangkapan karbon.
Paul Simons menyatakan pemanfaatan energi bersih terbarukan perlu percepatan. Salah satu caranya adalah dengan mengintegrasikan semua sistem pengembangan energi. Dia juga mendorong setiap negara untuk mengembangkan pola transisi dan meningkatkan skala riset untuk pemanfaatan energi bersih dan terbarukan.
Paul Simons juga menegaskan, target untuk mencapai karbon netral energi pada 2060 butuh kebijakan yang tepat dan investasi yang agresif. **