Keterlibatan komunitas sangat menentukan keberhasilan pengembangan kota hijau. Langkah tersebut penting karena kota hijau adalah penyokong dalam pengendalian perubahan iklim.
Demikian terungkap pada diskusi Pojok Iklim di Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), di Jakarta, Rabu (7/3/2018), yang juga disiarkan melalui layanan video konferensi. Diskusi dipimpin oleh Kepala Pusat Standardisasi LHK Noer Adi Wardojo dan turut dihadiri oleh Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim Sarwono Kusumaatmadja.
Pojok iklim adalah forum multi pihak yang terdiri dari para pemerhati dan pelaku untuk berbagai pembelajaran dan aksi terbaik dalam pengendalian perubahan iklim.
Anggota Green Building Council Indonesia Bintang A Nugroho menyatakan, keprihatinan terhadap perubahan iklim telah mendorong berkembangnya konsep bangunan hijau yang rendah karbon. Di Indonesia, kata dia, upaya untuk menerapkan konsep tersebut terus dilakukan diantaranya melalui Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) yang diinisiasi oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Bintang melanjutkan, agar konsep bangunan hijau bisa diimplementasikan maka pelaksanaannnya harus menyentuh komunitas. "Komunitas ini menjadi agen gerakan hijau dalam semua bidang. Komunitas di sekolah, tempat kerja, kelompok diskusi seperti Pojok Iklim ini sangat penting", katanya.
Dia menuturkan, kota-kota di dunia yang berhasil mengembangkan kota hijau adalah kota yang komunitasnya terlibat dengan kepemimpinan yang kuat dari para pemimpinnya.
Menurut Bintang, untuk melibatkan komunitas hijau maka kampanye untuk peningkatan kepedulian publik harus terus dilakukan. Selain itu, perlu juga dilakukan peningkatan kapasitas, kemitraan dan pendidikan. "Perlu pengembangan nilai-nilai baru dalam materi pendidikan anak dengan menerapkan kepedulian lingkungan", katanya.
Sementara itu Ketua Indonesia Landscape Industries Network Anggia Murni menyatakan lanskap arsitektur berada di garda depan untuk merespons isu perubahan iklim yang semakin nyata.
Dia menyatakan filosofi yang harus dipegang dalam arsitektur hijau adalah merancang design with nature. Termasuk soal lanskap. "Gunakan tanaman setempat. Jadi bukan sekadar cantik, tapi tanaman itu juga harus sesuai dengan lingkungannya", katanya.
Penggunaan tanaman dari tempat lain, tambah Anggia, juga malah akan meningkatkan jejak karbon yang dikeluarkan karena harus didatangkan dengan menggunakan alat transportasi yang melepas emisi gas rumah kaca.
Anggia menuturkan, pengembangan kota hijau sejatinya tak sulit asal ada kemauan dari semua pihak. Dia menuturkan, Singapura sudah menyatakan akan meningkatkan ruang terbuka hijau tanpa perluasan lahan. Caranya adalah mewajibkan setiap gedung membuat roof garden. Teknologi saat ini sudah memungkinkan pembuatan roof garden bukan hanya pada bangunan baru tapi juga pada bangunan lama. "Demikian juga dengan kota Paris yang sudah menyatakan akan memperluas ruang terbuka hijau pada tahun 2030", katanya.
Anggia menekankan, banyak manfaat dari pengembangan kota hijau. Pertama, tentu saja mengurangi panas di perkotaan. Menurut dia, pengembangan roof top garden mampu membuat suhu udara turun hingga 3 derajat celcius.
Ruang terbuka hijau, katanya juga penting sebagai tempat interaksi sosial. Ini bisa mengurangi konflik antar warga. Masyarakat pun akan memiliki produktivitas yang lebih tinggi.
Manfaat lain dari kota hijau adalah masyarakat yang lebih sehat. Ruang terbuka hijau juga akan menjaga tata air karena hujan tidak langsung tersalur ke laut namun diserap ke dalam tanah.
Trisia Megawati