Perubahan iklim memberi dampak yang dahsyat pada meningkatnya serangan penyakit dan menurunnya kualitas kesehatan manusia. Pemahaman publik terhadap kenyataan itu perlu terus ditingkatkan untuk memperkuat aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Demikian terungkap pada forum diskusi multi stakeholder ‘Pojok Iklim’ di Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Jakarta, Rabu (14/6/2017). Diskusi dipimpin Staf Ahli Menteri bidang Ekonomi Sumber Daya Alam KLHK Agus Justianto.
Ketua Globular Health Initiative (GHI) dr. Ivan Meidika Kurnia menjelaskan kurangnya kesadaran masyarakat terhadap dampak kesehatan akibat perubahan iklim perlu mendapat perhatian. Padahal, sektor kesehatan memiliki kesempatan sebagai pemersatu berbagai sektor dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Untuk itu, lanjut dia, perlu ada sosialisasi yang lebih intensif kepada publlik. Selain masyarakat umum, pendekatan baru terhadap kalangan generasi muda, seperti mahasiswa, diperlukan.
Ivan menyatakan, sebagai organisasi yang terdiri dari sekelompok anak muda dengan latar belakang ‘kesehatan’, pihaknya mengembangkan pendekatan baru lewat program yang spesifik ditujukan kepada orang-orang ‘non kesehatan’. Program tersebut mengangkat isu Target Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) yang terkait kesehatan sebagai bingkai pemersatu.
“Besarnya dampak perubahan iklim terhadap kesehatan membuat kami berencana menggandeng sektor-sektor non kesehatan, terutama lingkungan, untuk menggadang isu ini sebagai isu kesehatan,†katanya.
Terkait upaya tersebut, GHI sudah mengembangkan silabus (rancangan pembelajaran) pertama dengan tema perubahan iklim. Silabus ini berisi pembelajaran khusus yang berisi modul-modul mengenai perubahan iklim dan kesehatan global. Melalui silabus ini, GHI berharap akan akan lahir calon pemimpin di sektor non kesehatan, terutama lingkungan, dengan kapasitas mengenai kesehatan masyarakat yang mumpuni.
Menurut Ivan, pihaknya akan mencoba untuk menjalin kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk perguruan tinggi agar silabus tersebut bisa diimplementasikan.
Dia memaparkan, perubahan iklim mempengaruhi kesehatan dalam berbagai hal, seperti polusi udara, kualitas air, suhu ekstrem, dan bencana alam. Perubahan iklim juga berdampak pada perubahan ekologi penyebar penyakit seperti nyamuk malaria yang membuat penyebarannya semakin meluas. “Dulu malaria hanya ditemukan di daerah tropis, kini mulai terjadi di sub tropis,†katanya.
Sementara itu penasehat kesehatan Autoimun Indonesia, sebuah komunitas penyandang penyakit otoimun, dr Novi Arifiani menyatakan perubahan iklim akan berdampak pada perubahan lingkungan tempat hidup mikroba dan kuman penyakit. Ini bisa memicu meningkatnya penderita otoimun. “WHO memperkirakan, pada tahun 2030 otoimun bersama kanker akan menjadi penyakit yang paling mengancam manusia,†katanya.
Untuk diketahui, Penyakit otoimun termasuk sulit dideteksi karena menunjukan gejala yang berbeda-beda. Penyakit otoimun terjadi ketika sistem kekebalan tubuh seseorang mengalami gangguan sehingga menyerang jaringan tubuh itu sendiri. “Ini ibarat polisi malah menangkap korbannya, bukan pelaku kejahatannya,†kata Novi.
Dia menyatakan aksi mitigasi perubahan iklim sangat berkorelasi dengan upaya pencegahan penyakit otoimun. Pengendalian perubahan iklim diharapkan bisa menyediakan lingkungan yang lebih baik sehingga bisa tersedia pangan yang lebih sehat. *