Jakarta (7/6/2017): Mekanisme berbasis pasar saat ini sedang dikembangkan di berbagai negara di dunia, total ada 37 jenis mekanisme berbasis pasar yang berupa pajak karbon, cap and trade, dan krediting tengah dikembangkan. Negara-negara seperti Inggris, EU, negara Skandinavia, US, Kazakhstan, Jepang, Korea, Brasilia, Chile, dan berbagai negara lain bahkan China dan Thailand, baik secara mandiri maupun regional tengah mengoperasikan mekanisme berbasis pasar ini.
Menguatnya komitmen global dan ditandatanganinya Perjanjian Paris adalah alasannya. Dukungan pengembangan pasar karbon pun diperlukan sebagai alat untuk mengikutsertakan peran swasta dalam implementasi mitigasi perubahan iklim.
Demikian mengemuka pada forum diskusi Pojok Iklim dengan judul "Mekanisme Kredit Karbon: Pembelajaran dari Skema Karbon Nusantara" yang digelar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta, Rabu (7/6/2017). Diskusi yang dipandu oleh Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan bidang Industri dan Perdagangan Internasional Laksmi Dhewanthi, menghadirkan Andi Samyanugraha dari Partnership for Market Readiness (PMR) Indonesia.
Menurut Andi, pengembangan pasar karbon masih bisa dilakukan sebagai bagian dari upaya mitigasi perubahan iklim. “Namun memang perlu dukungan beberapa hal, terutama kuatnya dukungan kebijakan pemerintah,†katanya.
Menyusul Protokol Kyoto yang tak diperpanjang, pasar karbon global memasuki situasi suram karena hilangnya pasar mandatory yaitu mereka yang wajib menurunkan emisi gas rumah kaca. Nilai perdagangan karbon global tahun lalu menyentuh titik terendah dalam lima tahun terakhir dengan 191 juta dolar AS dibandingkan 602 juta dolar AS pada tahun 2012, sementara mekanisme berbasis pasar lain, pajak karbon dan pasar karbon voluntary dan domestik, justru menguat.
Meski demikian volume perdagangan karbon terakhir ternyata cukup stabil meski pasar mandatory kini tak ada. Tahun lalu volume karbon yang diperdagangkan sebanyak 63 juta ton setara CO2. Menurut Andi, situasi tersebut menunjukan bahwa sesungguhnya pasar mandatory masih ada. “Memang tidak besar karena yang membeli lebih bertujuan pada peningkatan citra,†katanya.
Dia melanjutkan, pasar karbon masih bisa berkembang karena ada beberapa negara yang mengombinasikannya dengan kebijakan mitigasi perubahan iklim seperti yang sudah dilakukan di Tiongkok dan Meksiko. “Indonesia bisa mengombinasikannya dengan penilaian PROPER atau Standar Industri Hijau sehingga permintaan kredit karbon meningkat,†katanya.
Selain itu, upaya yang dilakukan kelompok privat, seperti organisasi maskapai penerbangan internasional (ICAO) bisa menggairahkan pasar karbon. ICAO mendorong industri penerbangan global untuk mencapai carbon neutral mulai tahun 2020 mendatang.
Andi menyatakan, untuk mendukung pasar karbon, Indonesia sudah mengembangkan Skema Karbon Nusantara (SKN). SKN memiliki banyak keunggulan dibandingkan skema lain milik pengembang internasional lain. Diantara keunggulan itu adalah metodologinya yang lebih sederhana dan konservatif. “Biaya transaksi pun akan ditekan rendah sehingga lebih menguntungkan bagi pengembang proyek kredit karbon di tanah air,†katanya.
SKN sampai saat ini belum diimplementasikan setelah adanya perubahan nomenklatur Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Sementara itu menurut Dharsono Hartono, Direktur Utama PT Rimba Makmur Utama pemegang izin Restorasi Ekosistem yang juga pengembang proyek kredit karbon, gebrakan yang dilakukan ICAO memang diperkirakan akan menggairahkan pasar karbon. Indonesia yang unggul dengan proyek REDD plus (pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan) berpeluang mendapat keuntungan dari kebijakan ICAO. “Saat ini negosiasi implementasi di ICAO masih alot,†kata Dharsono yang juga menjadi ahli mewakili Indonesia dalam negosiasi di ICAO.
Dia melanjutkan, selain sektor privat, pasar karbon sejatinya juga bisa dibangun lewat kebijakan pemerintah. Dia menyatakan, dokumen kontribusi pengurangan emisi nasional (NDC) berdasarkan Persetujuan Paris, menyediakan peluang pengembangan pasar karbon.
Dharsono mengingatkan, pengembangan pasar karbon sebaiknya tidak dibebani dengan regulasi yang berlebihan. Dia menyarankan sebaiknya biarkan pasar berkembang lebih dahulu, baru kemudian dicari mekanisme pemberian kontribusi bagi negara.
Dari sisi permintaan, Andi menambahkan, sebenarnya bisa dibentuk. Tata peraturan dan kebijakan pemerintah bisa mendorong lahirnya permintaan akan kredit karbon dan pengurangan emisi domestik di sektor swasta.
Indonesia juga bisa mencontoh tata kelembagaan dari negara lain, misalnya Thailand, kalau pemerintah ingin melakukan koordinasi pembangunan kebijakan di sektor ini.*