Jakarta, 26 Juli 2017: Mengandalkan pendekatan sosial yang tepat Konsorsium Restorasi Universitas Lampung (Unila)-Pusat Informasi Lingkungan (PILI) berhasil mengubah perilaku masyarakat dari perambah menjadi pelestari Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).
Seluas 200 hektare hutan di resort Way Nipah, TNBBS yang awalnya dikonversi menjadi kebun kopi, coklat dan lada, secara bertahap direhabilitasi dan dipulihkan dengan berbagai jenis pohon asli setempat.
Koordinator Konsorsium Unila-PILI Evi Indraswati menjelaskan, lokasi tersebut awalnya dirambah masyarakat Desa Pesanguan, Kecamatan Semaka, Kabupaten Tanggamus, Lampung. “Karena keterbatasan lahan, mereka masuk ke kawasan TNBBS,†kata Evi yang akrab disapa Epoy pada forum diskusi Pojok Iklim di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta, Rabu (26/7/2017). Pojok iklim adalah forum multipihak untuk saling berbagi pengalaman dan pengetahuan dalam aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Sebagai mitra Balai TNBBS Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), konsorsium Unila-PILI mulai bekerja di lokasi tersebut sejak tahun 2012 dengan dukungan dari program Tropical Forest Conservation Act (TFCA)-Sumatera serta Yayasan KEHATI selaku administrator program tersebut. Epoy menuturkan, banyak tantangan yang dihadapi, termasuk soal kesepahaman yang berbeda di tiap level birokrasi internal TNBBS maupun unit pelaksana teknis Kementerian LHK lain yang terkait.
Namun tantangan terbesar adalah mengubah paradigma dan perilaku masyarakat. Apalagi ada resistensi kuat dari masyarakat. Mereka tak segan mengacungkan parang kepada siapapun yang dianggap hendak mengusir keberadaan mereka dari lahan yang dirambah.
Untuk itu, konsorsium Unila-PILI memulainya dengan mendekati tokoh masyarakat setempat. “Pada awalnya memang tidak mudah, tapi perlahan-lahan masyarakat memahami dan terlibat aktif dalam penanaman dan restorasi lahan yang dirambah,†kata Epoy.
Restorasi dilakukan dengan metode suksesi alami yang dipercepatan dengan pengkayaan bibit tanaman. Bibit indukan merupakan jenis pohon setempat yang diambil dari dalam kawasan TNBBS, seperti medang, gelam, dan pulai. Jarak tanam antar pohon diatur sesuai dengan kecepatan tumbuh. Hasil pemantauan, survival rate bibit yang ditanam mencapai 88%.
Epoy menyatakan, sejumlah satwa juga mulai mampir ke eks areal perambahan seperti burung, rusa, dan gajah. “Kehadiran satwa tersebut adalah indikasi areal yang dulu dirambah mulai pulih,†katanya.
Untuk sumber penghasilan, masyarakat diarahkan untuk memanfatkan lahan warga yang berada di luar kawasan TNBBS. Sebagian juga berinisiatif untuk mengembangkan peternakan kambing secara swadaya. “Ada pola kambing bergulir, dimana induk yang telah melahirkan kemudian diserahkan kepada anggota masyarakat lain,†katanya.
Masyarakat yang kemudian tergabung dalam Kelompok Pelestari Hutan Pesanguan itu kini terus memperkuat kelembagaannya. Mereka telah membentuk koperasi sehingga secara legal bisa bekerjasama dengan Balai TNBBS. Termasuk dalam pemanfaatan sumber air dan ekowisata.
Staf Ahli Menteri bidang Ekonomi Sumber Daya Alam KLHK Agus Justianto berharap apa yang berkembang di Desa Pesanguan bisa direplikasi di tempat lain. Dia menyatakan, upaya penyelesaian perambahan selayaknya memang mempertimbangkan faktor ekonomi masyarakat. “Itu sudah satu paket,†katanya.
TBBS memiliki luas 313.572,48 hektare yang membentang dari Kabupaten Tanggamus, Kabupaten Pesisir Barat, Kabupaten Lampung Barat, di Provinsi Lampung dan dan Kabupaten Kaur di Jambi. TNBBS merupakan satu dari tiga taman nasional yang ditetapkan sebagai hutan warisan dunia oleh Unesco pada tahun 2004.
Sayangnya, sekitar 20% kawasannya saat ini dirambah terutama untuk kegiatan perkebunan. Padahal, TNBBS merupakan rumah bagi sejumlah satwa endemik, termasuk gajah sumatera dan harimau sumatera. *