Inisiatif pengembangan ekonomi hijau untuk mendukung pembangunan berkelanjutan terus bergulir di tingkat tapak dengan komitmen yang kuat dari pemerintah daerah.
Demikian terungkap pada dikusi Pojok Iklim di kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rabu (14/3/2018). Pojok Iklim adalah forum multipihak yang menjadi tempat berbagi pembelajaraan dan praktik terbaik dalam pengendalian perubahan iklim. Diskusi dipimpin oleh Kepala Pusat Standardisasi Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Noer Adi Wardojo dan turut dihadiri oleh Staf Ahli Menteri LHK bidang Perdagangan Internasional Laksmi Dhewanthi.
Ketua Dewan Perubahan Iklim Kalimantan Timur (Kaltim), Daddy Ruhiyat menyatakan Kaltim telah mulai mengimplementasikan inisiatif pembangunan hijau. "Mengintegrasikan pertimbangan lingkungan dan sosial dalam strategi pembangunan di Kalimantan Timur adalah suatu keharusan", katanya.
Dia menuturkan, Kaltim telah melewati fase pengembangan ekonomi yang kurang baik dengan banyak mengeksploitasi sumber daya alam yang tidak terbarukan. Kebijakan di masa lalu telah membuat Kaltim menjadi salah satu Provinsi dengan emisi gas rumah kaca (GRK) tertinggi di Indonesia.
Menurut Daddy, mulai tahun 2009, Kaltim mulai meletakkan dasar untuk menuju ekonomi hijau berbasis sumber daya alam yang terbarukan. Harapannya, pertumbuhan ekonomi Kaltim yang sempat melambat bisa kembali melaju. Sementara emisi gas rumah kaca bisa diturunkan 19,07% pada tahun 2020 dari estimasi business as usual yang 1,4 juta ton setara karbon.
Daddy menuturkan, sejumlah kebijakan yang telah diambil untuk mengimplementasikan inisiatif pembangunan hijau diantaranya adalah membuat dokumen Strategi Pembangunan Kaltim yang Berkelanjutan dan Ramah Lingkungan pada tahun 2011 dan mengimplementasikannya. Kaltim juga mengintegrasikan program pengurangan emisi GRK dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
Praktik di lapangan misalnya memastikan usaha pertambangan menerapkan Good Mining Practices dan melakukan reklamasi pasca tambang. Sementara di sektor perkebunan diimplementasikan kesepakatan pembangunan perkebunan berkelanjutan yang melindungi kawasan berhutan seluas 640.000 hektare dan gambut seluas 50.000 hektare.
Sementara itu Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bantaeng, Abdullah Taibe menuturkan untuk mewujudkan inisiatif pembangunan hijau pihaknya telah menerbitkan sejumlah regulasi terkait pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya hutan secara berkelanjutan. "Masyarakat juga dilibatkan untuk menjaga kebersihan dan melakukan kegiatan penghijauan", katanya.
Keterlibatan masyarakat memang menjadi salah satu kunci. Untuk itu, Pemerintah kabupaten Bantaeng mendorong pengelolaan ekowisata berbasis masyarakat. Menurut Abdullah, ekowisata berbasis masyarakat didukung karena memenuhi nilai konservasi, ekonomi bagi masyarakat, perlindungan budaya setempat dan edukasi. "Sejumlah titik potensi wisata yang dulu terbengkalai kini dimanfaatkan", katanya.
Basis masyarakat juga dikedepankan dalam pengelolaan hutan. Untuk itu pengembangan perhutanan sosial seperti hutan desa terus didorong. "Dengan hutan desa, tidak ada lagi konflik lahan dan tingkat pencurian kayu bisa dikurangi", katanya.
Sementara itu Kepala Sub Direktorat Penataan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Kementerian LHK, Maidiward menjelaskan, pengelolaan hutan produksi terus didorong agar berkelanjutan dengan lebih banyak melibatkan masyarakat. "Ada rekonfigurasi bisnis di hutan produksi dari hanya kayu menjadi hasil Hutan Bukan Kayu dan Jasa Lingkungan", katanya.
Dia menekankan pentingnya eksistensi KPH sebagai organisasi pengelola hutan di tingkat tapak untuk memastikan pengelolaan hutan produksi lestari bisa tercapai. Hasil evaluasi yang dilakukan pada 2015-2017, pengelolaan hutan oleh KPH berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan nilai invetasi, mengurangi konflik, dan menurunkan laju deforestasi.*