Pemanfaatan energi terbarukan berbasis sumber daya hutan bisa mendukung pencapaian target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor energi yang sudah direncanakan melalui National Determined Contribution (NDC). Namun untuk memicunya, perlu ada kebijakan tarif yang menarik untuk listrik dari energi terbarukan.
Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan juga seorang pakar Indonesia yang tergabung dalam Inter-govermental Panel on Climate Change (IPCC), Dr Haruni Krisnawati mengungkapkan potensi hutan Indonesia dalam menghasilkan bahan baku bioenergi dalam bentuk biomassa maupun minyak nabati.
“Potensi sumber daya hutan untuk bioenergi sangat besar. Ini perlu dikembangkan dan diaplikasikan secara terstruktur berdasarkan prioritas pengembangan dan memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan,†kata dia di Jakarta, Selasa (31/10/2010).
Potensi energi dari sumber daya hutan dipaparkan Haruni saat Aksi Pengendalian Perubahan Iklim “Goes to Campus†dengan tema “Pembangunan Rendah Emisi Menuju Ketahanan Energi dan Mitigasi Perubahan Iklim di kampus ITB, Bandung, Senin (30/10/2017).
Dalam mendukung Persetujuan Paris, Indonesia mencanangkan untuk mengurangi emisi GRKnya sebanyak 29% dari Bussines as Usual pada tahun 2030. Sebanyak 11% berasal dari sektor energi atau setara dengan 314 Metrik Ton setara karbondioksida (CO2).
Dalam bentuk biomassa, energi bisa dihasilkan melalui pengolahan pelet kayu dan arang. Sementara beberapa pohon (baik kehutanan maupun non-kehutanan) bisa menghasilkan minyak nabati yang bisa diolah menjadi biodiesel dan biogasoline, seperti kelapa sawit, nyamplung, kemiri sunan, kelapa, dan aren.
Menurut Haruni, ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) untuk pemanfaatan energi dari sumber daya hutan sudah tersedia. Namun perlu diaplikasikan dalam skala yang lebih luas. “Perlu juga dukungan para pihak,†katanya.
Sementara itu Kepala Pusat Kebijakan Keenergian ITB Dr. Retno Gumilang Dewi menyatakan untuk mendorong pengembangan energi terbarukan dan konservasi energi, diperlukan kebijakan tentang tarif energi yang tepat.
“Alihkan sebagian subsidi energi untuk mendorong pengembangan energi terbarukan melalui pendanaan penelitian dan subsidi harga sementara. Selain itu perlu juga diimplementasikan feed in tarif bagi energi terbarukan,†katanya.
Retno mengingatkan, pencapaian target NDC dari sektor energi sangat penuh tantangan. Untuk itu, perlu dibangun rencana aksi berdasarkan target penurunan emisi saat NDC disusun. “Rencana aksi itu juga perlu dimasukan dalam agenda pembangunan nasional,†katanya.
Dia mengingatkan perlunya persiapan pendanaan untuk investasi pada teknologi dan infrastruktur pengembangan energi terbarukan. Litbang di tanah air juga perlu terus didorong mengingat NDC sektor energi sangat ‘berat’ dengan intervensi teknologi.
Retno menyatakan perguruan tinggi bisa berperan besar untuk mencapai penurunan emisi seperti pada NDC. Melalui pendidikan, perguruan tinggi bisa menyediakan SDM yang terkait dengan aksi mitigasi perubahan iklim. Perguruan tinggi juga melakukan berbagai riset dan pengembangan teknologi mitigasi perubahan iklim.
Retno juga menyatakan pentingnya praktik pengabdian masyarakat oleh perguruan tinggi untuk mitigasi perubahan iklim. “Faktor penting pengembangan energi terbarukan tidak hanya iptek, tapi juga sosio-ekonomi dan manajemen,†katanya. *