Jakarta, 16 Agustus 2017: Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan regulasi yang mendorong penerapan prinsip keuangan berkelanjutan bagi lembaga jasa keuangan, emiten dan perusahaan publik. Regulasi ini akan berdampak jika didukung kebijakan pemerintah untuk menciptakan pasar bagi produk berkelanjutan.
Demikian benang merah dari diskusi Pojok iklim di kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta, Rabu (16/8/2016). Pojok iklim adalah forum multipihak yang membahas berbagai aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Diskusi pada kesempatan tersebut dipimpin oleh Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi Sumber Daya Alam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang juga Sekretaris Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim Agus Justianto.
Dalam kesempatan tersebut, Direktur Keuangan Berkelanjutan OJK Edi Setijawan mengungkapkan, telah terbitnya Peraturan OJK No 51 tahun 2017 tentang Penerapan keuangan Berkelanjutan Bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten dan Perusahaan Publik telah diterbitkan pertengahan Juli lalu.
“Adanya peraturan itu karena OJK ingin adanya peningkatan stabilitas sistem keuangan melalui pengelolaan risiko sosial dan lingkungan hidup,†kata Edi.
Dia melanjutkan, jika OJK hanya fokus pada tujuan tersebut, maka bisa terjadi kontraksi perekonomian. Sebab sudah menjadi rahasia umum jika instrumen pengelolaan lingkungan hidup seperti dokumen Amdal seringkali hanya dibuat untuk formalitas semata.
Untuk itu, kata Edi, melalui Peraturan OJK NO 51/2017 juga mendorong terbentuknya sistem jasa keuangan yang kontributif dan inklusif dalam penyediaan pendanaan pembangunan berkelanjutan. Misalnya pendanaan untuk energi terbarukan, ekoturisme, atau industri daur ulang.
Peraturan OJK No 51/2017 akan diimplementasikan secara bertahap dilihat dari perbedaan karakteristik dan kompleksitas usaha lembaga jasa keuangan, emiten dan perusahaan publik. Terhitung 1 Januari 2019, peraturan ini akan diimplementasikan pada Bank Umum dengan kategori Buku 4 (modal inti paling sedikit sebesar Rp30 triliun), Buku 3 (modal inti antara Rp5 triliun-Rp30 triliun), dan bank asing. “Untuk lembaga keuangan lainnya, emiten, dan perusahaan publik akan diterapkan bertahap,†katanya.
Edi menuturkan untuk saat ini telah ada 8 bank yang menyatakan kesediaanya sebagai bagian dari proyek percontohan perbankan berkelanjutan. Ke-8 bank tersebut mulai dari bank skala besar hingga kecil. “Ke-8 bank itu mencakup 46% total portofolio perbankan di Indonesia,†katanya.
Edi mengingatkan, OJK tak bisa sendirian dalam mendorong keuangan berkelanjutan. Untuk itu, butuh dukungan kebijakan dari pemerintah guna membentuk pasar akan produk-produk berkelanjutan.
Menurut Edi, pasar yang perlu dikembangkan bukan cuma domestik tapi juga ditingkat regional, ASEAN, sehingga memperbesar peluang bagi produsen produk industri berkelanjutan. “ASEAN jumlah penduduknya mencapai 600 juta jiwa sehingga bisa meningkat skala ekonomi produk berkelanjutan,†katanya.
Menananggapi hal itu Kepala Pusat Standardisasi Lingkungan dan Kehutanan KLHK, Noer Adi Wardojo menyatakan pihaknya terus mengembangkan skema-skema produk berkelanjutan. “Ini untuk mendorong tumbuhnya pasar produk berkelanjutan,†katanya.
Dia menyatakan sejatinya, sudah ada beberapa skema produk berkelanjutan yang diterbitkan KLHK. Ada juga yang diterbitkan oleh kementerian dan intansi pemerintah lainnya. *