Indonesia telah mengalami banyak bencana akibat kejadian cuaca ekstrim. Cuaca ekstrim ini terjadi sebagai dampak dari perubahan iklim global. El Nino tahun 2015 mengakibatkan lima provinsi di Kalimantan dan Sumatera mengalami kebakaran hutan dan lahan. Sementara La Nina pada akhir tahun 2016 telah mengakibatkan intensitas hujan di atas normal (150 mm/kejadian) selama empat bulan di tahun 2017. Akibat curah hujan ekstrim tersebut, bencana banjir dan longsor terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Badan Nasional Penaggulangan Bencana (BNPB) mencatat bencana banjir terjadi sebanyak 729 kejadian, dan longsor sebanyak 573 kejadian pada tahun 2017.
Kerugian ekonomi dan sosial dari bencana iklim (terutama akibat banjir dan longsor) sangat mengkhawatirkan. Tahun 2017, kerugian negara akibat bencana iklim diperkirakan mencapai Rp 30 triliun. Siklon Tropis Cempaka pada 26-30 November 2017 lalu, sebagai misal, telah menimbulkan kerugian sebesar Rp1,13 triliun sebagai akibat dari banjir, longsor, dan puting beliung. Dampak lanjutannya adalah hilangnya penghasilan, pekerjaan, dan rumah warga. Bahkan lebih jauh sebanyak 177 jiwa meninggal akibat banjir dan longsor di tahun 2017 (BNPB 2017).
Fenomena ini sudah barang tentu tidak boleh dipandang remeh. Bencana Iklim perlu digulirkan menjadi suatu diskursus publik. Untuk mengawalinya dipandang perlu diselenggarakan forum diskusi kritis yang kemudian digulirkan, dikembangkan dan dibahas secara intens dalam berbagai pertemuan selanjutnya. Muara dari berbagai proses ini adalah lahirnya kebijakan dan langkah-langkah yang koheren dalam antisipasi serta kesiagaan dan tanggap darurat bencana iklim. Untuk itu pada diskusi Pojok Iklim ini akan membahas terkait tanggap darurat bencana iklim yang terbagi menjadi dua sesi yaitu Sesi I: Climate and Hazard Science dan Sesi II: Kesiapsiagaan dan Tanggap Darurat Bencana Iklim.
BMKG, IPCC, CCROM-SEAP IPB, CIFOR, BNPB. KLHK. Kemensos, KKP