Diawali dengan deklarasi Brazzavile pada 22 Maret 2018, Indonesia diharapkan dapat memimpin south-south cooperation (kerjasama selatan-selatan) dalam menangani gambut tropis. Melalui deklarasi ini, dua negara yang memiliki luas gambut terbesar di dunia, yakni Republik Kongo dan Republik Demokratik Kongo akan belajar mengenai gambut ke Indonesia. Jika dulu gambut Indonesia dikenal karena rawan terbakar, sekarang sebaliknya, menjadi referensi dalam melindungi gambut Basin Kongo untuk dunia. Pengalaman jatuh-bangun Indonesia dalam mengelola dan melindungi ekosistem gambut dari alih fungsi, pembalakan liar dan kebakaran hutan bisa menjadi pelajaran bagi negara lain pemilik gambut tropis. Didukung pula oleh penegasan di Asia Pacific Rainforest Summit ke 3 yang baru saja berlangsung di Yogyakarta, 23 - 25 April 2018, tren regulasi dan kebijakan gambut nasional mengindikasikan pentingnya komitmen dalam pengelolaan dan restorasi gambut yang berkelanjutan. Sebagai tindak lanjutnya, akan dibangun pusat riset gambut tropis.
Pembangunan Pusat Riset Gambut Tropis (Tropical Peatland Research Center) di Indonesia diharapkan dapat memperkuat kerajasama sekaligus meningkatkan pelaksanaan pengembangan dan inovasi yang bisa dilakukan berbagai pihak. Komitmen Indonesia menyediakan diri sebagai pusat penelitian pernah diungkapkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada forum internasional, di sela-sela Konferensi Para Pihak (COP) ke-23 Bonn yang digelar Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC), 15 November 2017.
Di Indonesia, penelitian hutan tropis juga didukung keberadaan lembaga riset internasional CIFOR (Pusat Penelitian Kehutanan Internasional) dan ICRAF (Pusat Agroforestri Dunia). Dua lembaga tersebut juga menyambut antusias inisiatif KLHK untuk menjadi contoh bagi negara-negara pemilik gambut di seluruh dunia.
Dr. Etti Ginoga dan Ir. Sri Parwati Murrwani B., M.Sc.
DOWNLOAD MATERI DISINI