Masyarakat Hukum Adat (MHA) merupakan kelompok masyarakat yang secara turun-temurun berada disuatu tempat dan memiliki hubungan yang erat dengan leluhur dan alam sekitarnya. Pada umumnya Masyarakat Adat kerap tertinggal didalam pembangunan, atau terlibat aktif secara ekonomi, sosial dan politik, karena mereka mempertahankan tradisinya dan memiliki tata cara tersendiri didalam mengelola kehidupan dan sumber daya alamnya, sesuai dengan adat dan kebiasaan mereka. Ada banyak tata cara yang dikelola masyarakat adat berdasarkan tradisi yang diturunkan dari generasi ke generasi, misalnya tradisi adat untuk menjaga hutan, tidak mengijinkan masyarakat secara sembarangan menebang hutan, atau larangan mengambil madu atau menangkap udang disekitar daerah tempat tinggalnya demi menjaga kelestarian dan keseimbangan alam. Hal ini menjadikan hutan adat kerap kali lebih unggul dalam konteks menjaga lingkungan dan menjadi solusi berbasis alam dalam menghadapi tantangan krisis iklim. Untuk itu, pemerintah Indonesia memberikan perlindungan terhadap kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) melalui Permen LHK Nomor 34 Tahun 2017.
Program Pembangunan PBB (UNDP) pada peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia pada 5 Juni 2019 lalu mengumumkan Komunitas Adat Rumah Betang Sungai Utik, Kalimantan Barat sebagai salah satu pemenang Equator Prize ke-10 karena mampu menampilkan solusi berbasis alam dari inisiatif masyarakat adat untuk mengatasi tantangan perubahan iklim dan pencapaian beberapa target SDGs. Penghargaan Equator akan diberikan pada 24 September 2019, bertepatan dengan Sidang Umum PBB ke-74, di New York, Amerika Serikat.
Masyarakat Adat Rumah Betang Sungai Utik terpilih dari 847 nominasi dari 127 negara oleh Komite Penasihat Teknis Independen melalui tahapan seleksi yang menekankan pendekatan berbasis masyarakat, dirancang agar inisiatif yang dilakukan dapat direplikasi dan menjadi solusi krisis iklim dunia. Aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang dilakukan oleh Masyarakat Adat Sungai Utik adalah melindungi, memulihkan, mempertahankan pengelolaan ekosistem, meningkatkan ketahanan pangan lokal, dan penyediaan akses terhadap air bersih.
Equator Prize 2019 fokus kepada solusi berbasis alam untuk menghadapi tantangan krisis iklim dan berkontribusi terhadap pencapaian pembangunan yang berkelanjutan. Prakarsa ini menciptakan peluang dan wadah untuk berbagi pengetahuan, praktik yang baik, dan mengembangkan kapasitas komunitas lokal serta masyarakat adat sehingga tercipta dialog antar pemangku kepentingan yang akhirnya direplikasi menjadi sebuah aksi nasional dan global.
Penghargaan kepada MA Sungai Utik ini juga dilengkapi dengan penghargaan yang diberikan oleh KLHK pada 1 Juli, mengumumkan Masyarakak Adat Sungai Utik sebagai salah satu penerima penghargaan Kalpataru 2019 untuk kategori Penyelamat Lingkungan. Kedua penghargaan ini menguatkan kemampuan sungai Utik didalam menyelamakan lingkungan yang diharapkan dapat menginspirasi dan menjadi pembelajaran bersama untuk mencari solusi berbasis alam guna menghadapi tantangan krisis iklim.