14 Agustus 2019 Pojok Iklim melaksanakan diskusi tentang Pendekatan Berbasis Pasar untuk Mendukung Pertumbuhan Usaha Hutan Berbasis Masyarakat di Indonesia. Pendekatan ini berusaha mengidentifikasi permintaan pasar yang lebih luas untuk produk hutan kemasyarakatan, membangun hubungan antara pembeli, bisnis dan memastikan bahwa masyarakat mendapat manfaat dari akses jangka panjang ke pasar pada produk mereka. Hadir dalam diskusi ini adalah Morten Rosse, Senior Advisor MFP4, Arief Rabik, CEO Indobamboo, Dr. Ir. Bambang Supriyanto, Dirjen PSKL dan Dr. Ir. Sarwono Kusumaatmadja sebagai keynote speaker.
Dalam sambutannya Dr. Sarwono Kusumaatmadja menyampaikan bahwa pendekatan pasar adalah pendekatan yang sangat penting dan penting untuk disdiskusikan bersama. Pendekatan pasar Pendekatan Berbasis Pasar untuk Mendukung Pertumbuhan Usaha Hutan Berbasis Masyarakat atau CBFE (Community Based Forest Enterprises) ini tidak hanya fokus pada profit, namun juga memperhatikan aspek lingkungan, keberlanjutan, kontribusinya pada SDGs serta bagaimana meningkatkan kualitas dari suatu daerah, mengembangkan infrastruktur dan kualitas air. Ini adalah sebuah shifting paradigm dengan adanya akses player demikian ungkap Morten Rosse, konsultan alhi dati MFP4. Sebagai contoh, Pak Hari seorang petani madu akan diajarkan bagaimana menaikkan harga komoditas dengan tidak hanya menjual produk madunya namun juga memberikan ceritanya. Market access player ini sangat potensial dalam membantu mengembangkan komunitas daerah yang bergantung pada pusat, dan dengan dukungan pihak-pihak tertentu kita dapat menciptakan keadaan yang mendukung untuk kemudahan akses biaya, meningkatkan kapasitas agar bisa membantu lebih banyak petani dari komunitas untuk menjaga hutan.
Bambu sebagai salah satu produk potensial juga di presentasikan. Bambu merupakan produk yang mampu menyerap 50 ton karbon per hektar, menampung air sebanyak 5000 liter, mempunyai pondasinya sangat kuat namun ringan, tidak memerlukan pengetahuan dan skill yang rumit dan bisa tumbuh di daerah manapun. Bahkan menurut riset, bambu di Indonesia juga jauh lebih baik daripada China. Bambu dapat memproduksi selulosa yang aplikasinya tidak terbatas dan kita bisa mendorong masyarakat agar mampu membangun bambu untuk restorasi ekonomi dan restorasi lahan kritis, demikian uraian Arief Rabik dari Indobamboo.
Lebih lanjut ia menyampaikan ada rencana mewujudkan program 1000 desa bamboo (dan saat ini baru 14 desa bambu). Dalam model desa bambu ini, setiap kelompok dengan jumlah warga 33 kepala keluarga akan mengelola 300 hektar bambu dan akan menghasilkan 30 ton bambu per hari setelah pada masa panen (diperkirakan panen setelah 9 bulan). Kelebihan lain dari produksi bambu ini adalah padat karya.
Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK, Dr. Ir. Bambang Supriyanto menyampaikan bahwa ada hal penting terkait dengan tata kelola hutan yakni memberikan akses pengelolaan kepada rakyat dan kita tengah memperjuangkan agar proporsi hak kelola masyarakat terhadap hutan itu mencapai 10% atau setara dengan 12, 7 juta hektar dalam bentuk hutan sosial. Dengan akses tersebut dalam waktu dekat diharapkan adakan ada perbaikan dan adaptasi sistem, tersedianya indikasi wilayah kelola dan perbaikan proses bisnis hutan sosial; Perbaikan modal sosial; Perbaikan akses masyarakat terhadap lembaga keuangan mikro (BLU); Pendampingan dan akses pasar terhadap produk masyarakat; 5. Peningkatan Kapasitas manajemen masyarakat.
Sedangkan untuk jangka menengah diharapkan aka nada ada pengembangan ekonomi domestik; sentra produksi hasil hutan; penurunan konflik tenurial; kelestarian hutan. Sedangkan untuk jangka panjang diharapkan terbangun pusat-pusat ekonomi domestik dan pertumbuhan desa sentra produksi hasil hutan berbasis desa yang menyerap tenaga kerja dan mengentaskan kemiskinan.
Saat ini realisasi yang sudah dicapai adalah 3.249.281,48 Ha dengan sekitar ± 710.216 Kepala Keluarga dan 5.801 Unit Surat Keputusan Ijin/Hak. Untuk mengembangkan bisnis maka dibangun KUPS dengan melakukan identifikasi potensi dan pasar, membangun relasi sesama UKM (KUPS), memanfaatkan peluang bantuan pemerintah, meningkatkan mutu produk, Inovasi produk (uniquenes) mengikuti perkembangan teknologi dalam bisnis, menggunakan Gunakan media sosial untuk memasarkan produk dan manfaatkan beberapa E-commerce untuk menjual produk.
Kedepan diharapkan agar kegiatan – kegiatan bisa masuk dalam dalam SinavPS sehingga role model ini bisa di replikasi dan di baca oleh masyarakat luas serta hadir pendamping masyarakat yang mumpuni dan mampu memfasilitasi serta menginspirasi masyarakat untuk berubah menjadi lebih baik.
Event ini terlaksana berkat kerjasama dengan Pojok Iklim dan MFP4. Pojok Iklim adalah kegiatan yang dilakukan secara rutin dengan berbagai tema terkait dengan perubahan iklim, menghimpun inovasi serta inisiatif masyarakat (CSO, dunia usaha, akademisi dan tokoh perorangan) untuk disebarluaskan kepada semua pihak dalam diskusi maupun melalui media social yang dilakukan dibawah koordinasi Dewan Pertimbangan Perubahan Iklim. Sedangkan MFP4 adalah merupakan Departemen Pembangunan Internasional UK (DFID) bekerjasama dengan Pemerintah Indonesia untuk memperkuat tata kelola hutan dan reformasi pasar untuk mengurangi penggunaan sumber daya hutan secara ilegal dan dapat memberikan manfaat bagi kelompok miskin. Acara dipandu oleh Senior Adisor Kehati, Diah Suradiredja dengan peserta sekitar 80 orang.
Kontak : Atika (Sekretariat Pojok Iklim) pada +62 822-1134-7777 dan Hening Parlan (MFP4) pada +62813-103-60759.