Implementasi penilaian siklus hidup (Life Cycle Asessment/LCA) bisa dukung upaya Indonesia untuk mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca sebanyak 29% pada tahun 2020.
Demikian mengemuka saat diskusi Pojok Iklim di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rabu (16/5/2018). Pojok Iklim adalah forum multi pihak untuk berbagi pembelajaran dan praktik terbaik dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Diskusi kali ini dipimpin Kepala Pusat Standardisasi Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Noer Adi Wardojo.
Anggota Dewan Indonesia LCA Network (ILCAN) Jessica Hanafi menjelaskan, LCA adalah sebuah metode menyeluruh yang memperhitungkan dan mengevaluasi limbah dan bahan baku yang dimanfaatkan sepanjang siklus hidup. Dimulai dari perolehan bahan baku dari alam sampai proses pengolahan di pabrik, distribusi ke konsumen sampai kemudian harus dimusnahkan.
Dari penilaian tersebut, maka bisa dibandingkan kerusakan lingkungan secara keseluruhan yang ditimbulkan sebuah produk atau kegiatan untuk selanjutnya dipilih yang paling tidak merusak.
“Penilaian siklus hidup pertama dilihat dulu dari definisi tujuan dan lingkup kegiatan atau produknya, setelah itu dianalisis inventorinya dengan mengumpulkan semua data prosesnya kemudian dinilai dampak yang dihasilkan oleh penggunaan inventori tersebut. Setelah tahapan itu dilakukan baru mulai di inteprestasi langkah selanjutnya yang akan dilakukan,†kata Jessica.
LCA didorong oleh beberapa faktor. Ada faktor regulasi dan kebijakan pemerintah. Misalnya adanya Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (Proper). Faktor lain adalah keinginan untuk meningkatakan daya saing untuk menghasilkan produk yang lebih bersih dan berkelanjutan. Ada juga faktor permintaan dari konsumen yang menginginkan produk ramah lingkungan.
Menurut Jessica sejumlah perusahaan terkemuka di dunia sudah melakukan penilaian LCA. Sebut saja produsen produk kimia, 3M. Di tahun 1975, industri yang berpusat di Amerika Serikat itu mengimplementasikan program pencegahan polusi yang kemudian berkembang pada penghematan energi dan pengelolaan sampah. Hasilnya, sejak mulai diperkenalkan hingga saat ini, perusahaan itu bisa menghemat hingga 1,2 miliar dolar AS.
Jessica menyatakan, ILCAN adalah jejaring yang bertujuan untuk mempromosikan implementasi LCA di Indonesia. Jejaring ILCAN terdiri atas akademisi, pemerintah, dan pelaku industri dari berbagai sektor yang tertarik dengan implementasi LCA.
Sebagai catatan Indonesa telah punya pondasi implementasi LCA dengan adanya SNI ISO 14040:2016 tentang Manajemen Lingkungan-Penilaian Siklus Hidup-Prinsip dan Kerangka Kerja dan SNI ISO 14044:2017 tentang Manajemen Lingkungan-Penilaian Siklus Hidup-Persyaratan.
Sementara itu pengajar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Dr. Kiman Siregar menuturkan implementasi LCA pada produksi bioenergi bisa semakin menekan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari produk tersebut.
Dia menjelaskan, program pemerintah yang mendorong penggunaan bioenergi dalam hal ini biodisel memiliki dampak besar pada penghematan devisa, penyerapan tenaga kerja, dan juga pengurangan emisi gas rumah kaca.
Jika program pencampuran bahan bakar nabati sebanyak 10% dikenal dengan B10 diimplementasikan, maka akan ada pengurangan emisi GRK hingga 5,1 juta ton setara karbon. Sementara jika mencapai 20% (B20) pengurangan emisi GRK mencapai 9,4 juta ton setara karbon.
Kiman menuturkan, melalui metode LCA bisa diketahui jika dalam proses produksi salah satu bahan bakar nabati yaitu minyak sawit, menghasilkan emisi yang cukup besar dari pemupukan dan proses pengolahan.
Penggunaan produk organik seperti pupuk kompos dan proses agro kimia dalam pengolahan bisa mengurangi emisi yang dihasilkan.
Trisia Megawati
**