Sejumlah komoditas seperti sagu, pinang, dan nanas berpotensi untuk menjadi bagian dari upaya restorasi gambut di Indonesia. Komoditas tersebut bisa ditanam di kondisi alami gambut yang basah dan bisa dioptimalkan tanpa harus dibudidayakan secara monokultur.
"Hanya saja memang perlu upaya untuk meningkatkan skala ekonominya", kata Deputi Litbang Badan Restorasi Gambut Haris Gunawan saat diskusi Pojok Iklim di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta, Rabu (4/4/2018).
Pojok Iklim adalah forum multipihak untuk berbagi pembelajaran dan aksi terbaik dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Diskusi dipimpin oleh Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan bidang Industri dan Perdagangan Internasional Laksmi Dhewanthi.
Haris menuturkan, sagu merupakan tanaman alami yang memang tumbuh di gambut. Tanaman ini memiliki produktivitas untuk menghasilkan pangan lebih tinggi dibanding padi atau jagung. Produktivitas sagu bisa mencapai 20 ton per hektare per tahun. Dengan produktivitas yang tinggi ini, maka lahan sagu yang ada di Indonesia saat ini sejatinya mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional. "Jadi kita tidak perlu khawatir jika ada embargo beras impor", katanya.
Tanaman pinang dan nanas juga bisa dikembangkan karena tidak butuh pengeringan gambut untuk dibudidayakan. Satu komoditas lagi yang kini sedang dikembangkan adalah kopi spesial lahan gambut, liberika.
Selain komoditas, potensi ekonomi yang bisa dikembangkan untuk mendukung restorasi gambut adalah ekowisata. "Lahan yang pulih bisa dikembangkan untuk menarik wisatawan", kata Haris.
BRG mendapat tugas dari Presiden Joko widodo untuk merestorasi gambut seluas 2 juta hektare. Tantangan terbesar adalah adanya keterlanjuran pemanfaatan dalam skala bentang alam yang membuat gambut rusak. Meski demikian, Haris yakin restorasi bisa dilakukan. "Selama masih ada gambutnya restorasi masih bisa dilakukan. Di Indonesia, gambut memang banyak yang rusak, tapi belum hilang. Jadi masih bisa direstorasi", katanya.
Haris mengungkapkan pembelajaran merestorasi gambut seluas 2 hektare di kabupaten Bengkalis, Riau. Restorasi yang mulai dilakukan sejak tahun 2011 itu menunjukan gejala pemulihan. Pembelajaran itu yang akan diterapkan untuk merestorasi gambut di Indonesia. "Untuk merestorasi gambut BRG melakukan pendekatan Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG)", katanya.
Langkah yang sedang dilakukan diantaranya adalah membangun sekat kanal pada KHG yang mengalami kerusakan. Ini untuk membasahi kembali gambut yang sempat kering. Gambut yang basah akan mencegah kebakaran yang berdampak pada pelepasan gas rumah kaca (GRK), penyebab perubahan iklim.
Untuk memastikan pembasahan gambut berjalan dengan baik, BRG memasang 40 alat pemantau tinggi muka air gambut. Alat ini juga bisa dipantau secara daring dengan memanfaatkan telepon seluler berbasis android.
Anggota Kelompok Ahli BRG Bambang Setiadi mengingatkan pentingnya menjaga kubah gambut. Menurut dia, kubah gambut memiliki peran besar sebagai pengatur keseimbangan air. Selain mencegah kebakaran, gambut yang berfungsi baik juga akan mencegah terjadinya banjir di musim penghujan.
Sementara itu, Direktur Pengendalian Kerusakan Gambut KLHK Sri Parwati menyatakan restorasi gambut juga diwajibkan di lahan yang dikelola oleh perusahaan baik Hutan Tanaman Industri maupun perkebunan.
Menurut dia, sampai saat ini telah ada 31 perusahaan HTI yang telah mendapat persetujuan atas dokumen pemulihan gambut yang diajukan. Untuk perkebunan ada 60 perusahaan. "49 perusahaan lainnya sedang dalam proses penyusunan dokumen pemulihan", katanya.
Trisia Megawati