Pencemaran udara menjadi salah satu permasalahan yang umumnya dihadapi di wilayah perkotaan. Pencemaran udara tersebut timbul karena adanya permasalahan pertumbuhan penduduk yang diikuti oleh pertumbuhan sektor industri dan transportasi sehingga dapat menurunkan kualitas udara. Kecenderungan penurunan kualitas udara di beberapa kota besar di Indonesia telah terlihat dalam beberapa dekade terakhir. Hal ini dibuktikan melalui hasil pemantauan khususnya partikel dan oksidan yang semakin meningkat tiap tahunnya. Selain itu, kebutuhan akan transportasi dan energi, khususnya di wilayah perkotaan kian meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia.
Gas rumah kaca (GRK) menjadi salah satu isu lingkungan yang penting di dunia, termasuk negara Indonesia. Gas ini berfungsi menyerap dan memancarkan kembali radiasi sinar infra merah untuk mengatur suhu udara di bumi sehingga menjadi hangat dan mendukung kehidupan. Namun, jika udara semakin tercemar, maka kadar GRK tersebut akan terus mengalami peningkatan di atmosfer sehingga dapat menyebabkan penipisan lapisan ozon.
Sebagai oksidator kuat, lapisan ozon dapat mengurangi konsentrasi apapun dan menghentikan pertumbuhan virus dan mikroorganisme lainnya. Menipisnya lapisan ozon sangat dipengaruhi oleh zat-zat perusak ozon di antaranya yaitu CFC, CTC, MBr, TCA, Halon, dan R-502. Beberapa barang yang mengeluarkan zat perusak ozon yaitu air conditioner (AC), emisi kendaraan bermotor, alat pemadam kebakaran, kulkas, serta aerosol seperti parfum, pengharum ruangan, deodorant, cat semprot, dll. Lapisan ozon yang kian menipis mampu mengakibatkan terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim sehingga dapat berdampak krusial terhadap keberadaan makhluk hidup di muka bumi.
Peningkatan dan penurunan kualitas udara di Indonesia dapat diketahui melalui Indeks Kualitas Udara (IKU). Indeks Kualitas Udara (IKU) merupakan salah satu komponen dari penghitungan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH). IKU sebagai informasi yang sangat penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan sebagai acuan dalam pengambilan kebijakan agar dapat memahami permasalahan udara.
Perhitungan IKU untuk pemantauan kualitas udara ambien membutuhkan data dari alat pemantauan Air Quality Monitoring System (AQMS). Persyaratan data yang dibutuhkan dalam perhitungan IKU harus memenuhi 80% data rerata tahunan dan sangat sulit jika menggunakan data manual sehingga data tersebut diperoleh secara otomatis dan kontinyu melalui AQMS. Beberapa parameter pemantauan kualitas udara ambien pada AQMS yaitu PM10, SO2, NO2, CO, dan Ozon (O3) yang kemudian nantinya dapat juga digunakan untuk perhitungan Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU). Rentang penilaian kualitas udara ambien yaitu 0-50 baik, 51-100 sedang, 101-199 tidak sehat, 200-299 sangat tidak sehat, dan lebih dari 300 berbahaya.
Apabila pencemaran udara terjadi terus menerus tanpa adanya upaya pengendalian, maka dapat memperburuk kualitas udara di Indonesia bahkan dapat berdampak negatif pada kesehatan masyarakat dan lingkungan. Oleh karena itu, dalam Diskusi Pojok Iklim kali ini hal-hal yang telah disebutkan di atas akan dikupas tuntas oleh para narasumber mengenai program Langit Biru untuk meningkatkan mutu udara ambien dan kaitannya terhadap penipisan lapisan ozon dan perubahan iklim demi keberlanjutan kehidupan makhluk hidup.
Materi diskusi dapat diunduh di sini