Kearifan lokal (local wisdom) merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat yang biasanya diwariskan secara turun temurun sebagai identitas atau nilai sosial-budaya, yang berfungsi untuk mengembangkan sumber daya manusia dan dikembangkan dalam pembelajaran. Dalam menerapkan sisi kultural Indonesia, gotong royong dan musyawarah menjadi kunci hidup rukun dalam persatuan dan kesatuan bangsa yang tidak boleh hilang dari bumi pertiwi. Apapun upaya yang mengarah pada kepentingan rakyat banyak wajib untuk dibantu sebagai bentuk nyata solidaritas sosial dalam kehidupan masyarakat. Inilah mengapa perubahan iklim menjadi duduk permasalahan yang perlu diatasi bersama oleh setiap elemen masyarakat. Pengetahuan dan praktek tradisional yang diterapkan oleh komunitas lokal menjadi kunci mencegah kerusakan keanekaragaman hayati dan mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Pada kegiatan Conference of the Parties to the United Nations Framework Convention on Climate Change (COP-UNFCCC), negosiator dari berbagai negara melakukan perundingan multilateral untuk mencapai kesepakatan yang mencerminkan konsensus di antara Para Pihak. Ini berarti semua negara harus menyetujui keputusan yang ditetapkan, dengan prinsip nothing is agreed until everything is agreed. Pengambilan keputusan kolektif merupakan hal yang tidak mudah, karena menyangkut berbagai masalah terkait perubahan iklim global yang rumit, serta kepentingan ekonomi dan politik Para Pihak. Kesepakatan harus dicapai melalui kompromi dan negosiasi tekstual.
Sebagai bentuk soft diplomacy, Pemerintah Indonesia sejak COP-17 di Durban 2011 sampai dengan COP-25 di Madrid 2019 menyelenggarakan Paviliun Indonesia. Di samping puluhan diskusi panel dan ratusan narasumber serta pertunjukan seni budaya, selalu disajikan kuliner nusantara dengan berbagai kisahnya. Gastronomi berkelanjutan yang ditampilkan di negosiasi Iklim ini penting untuk meningkatkan status nation-brand, dan dapat memperkuat gagasan bahwa hati dan pikiran tidak dapat secara langsung dimenangkan melalui informasi rasional, melainkan melalui koneksi emosional secara tidak langsung. Karenanya, koneksi dengan audiens perlu dibuat dalam interaksi sensorik nyata, antara lain melalui kuliner, sebagai sarana diplomasi melalui koneksi budaya.
Pada COP-21 yang menghasilkan Persetujuan Paris, gastronomi berkelanjutan Prancis juga turut ditampilkan secara utuh dari hulu sampai hilir sebagai bentuk diplomasi. Kelompok Elior, sebagai katering resmi COP-21, menggunakan buah-buahan dan sayuran segar dan musiman dengan 33% dari sumber lokal, 20% organik, dan 95% tumbuh di Prancis. Sedangkan daging yang digunakan semuanya produk lokal. Kopi yang disajikan dengan ecocups, 100% merupakan fair-trade. Untuk mengurangi emisi karbon, penyelenggara mempertimbangkan seberapa rendah rantai makanan yang disajikan, berapa banyak energi yang digunakan untuk produksi, apakah bahan makanan itu ditanam secara organik, dan seberapa jauh transportasi yang dilalui. Ini adalah contoh Diplomasi Gastronomi untuk Negosiasi Iklim yang memperkuat gagasan bahwa hati dan pikiran tidak dapat secara langsung dimenangkan melalui informasi rasional, melainkan melalui koneksi emosional secara tidak langsung.
Untuk menguatkan hubungan antara gastronomi dan perubahan iklim, perlu kita tengok pula proyek internasional Sekolah Lapang Iklim / Climate Field Schools (CFSs) yang dikembangkan oleh BMKG sejak 2007. Program ini bertujuan untuk mengantisipasi dampak ekstrim perubahan iklim dengan meningkatkan pengetahuan petani akan informasi iklim dan cuaca untuk kegiatan pertanian. BMKG bersama Dinas Pertanian setempat melatih petani untuk mengaplikasikan pengamatan iklim serta informasi iklim yang ditemui dalam masa cocok tanam satu jenis tanaman pangan. Hal ini menunjukkan sisi kultural Indonesia yaitu musyawarah guna mengurangi gap pemahaman informasi iklim kepada masyarakat khususnya petani.
Angklung merupakan salah satu kesenian yang menjadi kebanggaan Indonesia yang kerap ditampilkan di berbagai negara. Alat musik angklung telah resmi diakui dan dikukuhkan oleh badan PBB, UNESCO, sebagai mata budaya Indonesia yang menjadi warisan budaya dunia pada 16 November 2010 dalam sidang UNESCO di Nairobi, Kenya. Selain untuk mengenalkan budaya Indonesia yang beragam, alat musik ini juga dapat berkontribusi dalam pengendalian perubahan iklim, karena secara tidak langsung mendukung pemanfaatan komoditas bambu. Hal ini berkaitan dengan kemampuan bambu dalam menahan erosi dan penyimpan air, serta kemampuan bambu dalam menyerap karbon dengan cepat. Oleh karena itu, penyelamatan ekosistem bambu dapat menjadi solusi perubahan iklim dan juga menjadi tonggak pelestarian alat musik nasional.
Materi dapat diunduh di sini