Kemampuan luar biasa hutan hujan tropis untuk berfotosintesis dapat mensekuestrasi karbon sebanyak 250 ton per hektar. Akan tetapi, selama lebih dari dua dekade, eksploitasi kayu dari hutan alam Kalimantan dan Sumatera intensif dilakukan. Termasuk meranti dari famili Dipterocarpaceae, yang diameternya dapat mencapai lebih dari 2 meter dan tinggi melebihi 50 meter. Di antara sekian keistimewaannya terdapat potensi besar untuk usaha mitigasi perubahan iklim.
Demikian dikemukakan pada diskusi Pojok Iklim di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rabu (25/7/2018). Pojok Iklim adalah forum multi pihak untuk berbagi pembelajaran dan praktik terbaik dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Diskusi kali ini dipimpin Bapak M. Farid dari DJPPI Support Team.
“Ada ekosistem mini yang belum banyak diteliti,†ujar Bapak Atok Subiakto, peneliti Puslitbang Hutan, BLI. “Dalam satu kanopi terdapat banyak ragam jenis tumbuh, seperti epifit, serangga, dan burung. Ada tingkat ketergantungan antar komponen kehidupan kanopi tinggi.†Dalam ekosistem pada tingkat global, meranti berperan penting sebagai penyerap karbon yang lebih kuat dibanding pengelola hutan seperti jati dan akasia.
Bahaya yang dihadapi meranti sekarang adalah perubahan iklim. Tipe pohon ini cocoknya hidup dalam iklim yang tropis dan basah, seperti di Bogor, namun tidak lagi aman untuk ditanam sepanjang tahun karena iklim yang sedang mengarah ke monsoon, yaitu musim basah dan kering. Masalah yang sesungguhnya adalah ketika kemarau bertambah parah, lahan meranti terancam menjadi padang savannah yang sulit sekali direstorasi.
Kayu meranti memang terkenal secara ekonomi karena banyak dimanfaatkan untuk konstruksi berat maupun ringan. Sayangnya kayu tersebut semua diperoleh dari hutan alam, sehingga turut mengancam keberadaan hutan hujan tropis. Lalu, bagaimana solusinya?
“Tidak terlambat untuk mengganti dengan hutan tanaman,†tegas Pak Atok. Dengan demikian, hutan yang tersisa dapat dilestarikan tanpa harus mengorbankan produktivitas. Riset perbandingan biji hutan alam dengan hutan tanaman pada dua jenis meranti (S. lerosula dan S. selanicai) menunjukkan bahwa peralihan ke hutan tanaman meranti sangat memungkinkan. Model teoritis pemanfaatan hasil hutan kayu dengan sistem tebang seleksi, menghasilkan hutan tanaman meranti dengan rotasi tebang pendek 20 tahun (dibanding jati yang 40 tahun). Maka dari itu, Pusat Litbang Hutan telah membangun hutan tanaman meranti dengan menggunakan KOFFCO system di Gunung Dahu, Bogor. Bibit yang digunakan berasal dari stek, disebabkan masa berbuah meranti yang tidak stabil sehingga bibit meranti tidak tersedia dapat diterapkan teknologi perbanyakan bibit.
Mulai tahun 2017, hutan tanaman ini pun akhirnya semakin bermanfaat untuk warga di sekitarnya dengan menjadikannya sebagai tempat wisata. Kehadirannya pun memperbaiki tata air, dimana air terjun yang sebelumnya hanya mengalir pada saat musim hujan menjadi dapat mengalir pada musim kemarau pula. Sawah warga yang dahulu hanya bisa dipanen 2 kali juga menjadi bisa dipanen 3-4 kali.
Sejauh ini, pohon meranti diketahui tidak invasif. Hal ini dikarenakan jenis asli tidak mempunyai kemampuan untuk mengokupasi. Walaupun ia dapat melakukan regenerasi pada situasi yang tidak menguntungkan, dalam lahan yang terbuka ia tidak akan tumbuh tanpa naungan. “Jika ingin melakukan mitigasi, ada dua kunci,†ucap Pak Atok. “Pertama adalah pertahankan hutan yang ada lalu lakukan konservasi. Berikutnya barulah menanam!â€