Berbicara pendidikan lingkungan berarti membicarakan perubahan iklim. Demikian pula hubungan antar pendidikan lingkungan dan program Adiwiyata (Sekolah Peduli & Berbudaya Lingkungan).
Demikian terkemuka pada diskusi Pojok Iklim di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rabu (25/7/2018). Pojok Iklim adalah forum multi pihak untuk berbagi pembelajaran dan praktik terbaik dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Diskusi kali ini dipimpin Ibu Laksmi Dhewanthi, Staf Ahli Menteri Perindustrian dan Perdagangan Internasional.
“Penyebab dari perubahan iklim adalah perilaku manusia yang tercermin dari kegiatan masyarakat,†ujar Ibu Cicilia Sulastri, Kepala Puslatmas & PGL. “Contohnya illegal logging, pembukaan lahan dengan membakar, membuang sampah dengan tanpa dikelola terlebih dahulu, dan pencemaran udara.†Bahkan dalam survey yang diadakan pada tahun 2012, terungkap bahwa rata-rata indeks total perilaku peduli lingkungan masyarakat di regional-regional Indonesia masih berada di bawah standar, yaitu 0.57.
Menurut Ibu Cicilia, tingkat perilaku masyarakat kondisi individu (t1) menjadi bersama-sama (tn) dapat dilakukan melalui tiga jalur, yakni perkembangan teknologi, penyusunan regulasi, dan yang tidak kalah penting adalah edukasi tentang lingkungan hidup. “Sebagai pihak pemerintah yang mempunyai mandate perlindungan lingkungan, harus memiliki pendidikan tentang lingkungan itu sendiri,†beliau meneruskan.
Pendidikan formal merupakan pendidikan yang terlaksana di sekolah. Di tingkat dunia, pendidikan lingkungan hidup (PLH) sudah di inisiasi pada Konferensi Internasional PLH di Yugoslavia tahun 1975, lalu diteruskan di tingkat ASEAN dengan pengembangan PLH di masing-masing negara anggota. Khusus bagi negara Indonesia, pada tahun 1975-1978 IKIP menyusun Garis Besar Program Pengajaran Pendidikan LH yang diuji coba di 15 SD di Jakarta. Akhirnya, pada tahun 2006, KLH meluncurkan program Adiwiyata.
Tujuan pengadaan program Adiwiyata ialah KLHK dapat berkoordinasi dengan Kemendikbud, Kemenag, dan Kemendagri membangun gerakan dari sekolah untuk peduli lingkungan, dan membentuk perilaku ramah lingkungan dalam warga sekolah. Tujuan ini dapat terwujud dalam tindakan-tindakan seperti menanam pohon, dan menghemat penggunaan air dan energi. Landasan hukum untuk program Adiwiyata terlihat dalam Pasal 63 ayat 1, dimana dinyatakan bahwa pemerintah dan pemuda bertugas mendidik, melatih, membina dan memberi penghargaan untuk perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dan juga Pasal 65 ayat 1, 2, dan 4, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas LH yang baik, juga mendapat pendidikan dan partisipasi dalam perlindungan dan pengelolaan LH.
Ada tiga prinsip sentral dalam program Adiwiyata. Yang pertama adalah edukatif, terkait dengan pemberian pendidikan lingkungan hidup bagi warga sekolah/madrasah. Yang kedua adalah partisipatif, dimana semua bagian sekolah harus terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi sesuai peran. Yang ketiga adalah berkelanjutan, yaitu seluruh kegiatan harus terencana, terus menerus dan komprehensif (dikaji, lalu ada rencana aksinya).
Penganugerahan Adiwiyata didahului pembinaan, supaya sekolah tidak semata-mata mengejar penghargaan tetapi benar-benar menghayati nilai-nilai kepedulian terhadap lingkungan. Diikuti oleh penilaian, yaitu evaluasi usaha sekolah secara kebijakan, kurikulum, partisipasi, dan pengelolaan sarpras pendukung yang ramah lingkungan. Kontribusi program ini ke perubahan iklim adalah strategisnya, ia dapat mengubah perilaku. Sekolah bisa dikatakan sama dengan generasi muda yang jumlahnya lebih dari 200.000 di seluruh Indonesia. Diharapkan dengan adanya program Adiwiyata, sekolah pun dapat lebih termotivasi untuk ikut serta dalam pengendalian perubahan iklim.