Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Kerinci, Jambi sedang menguji coba implementasi pembayaran imbal jasa lingkungan (payment environtmental services/PES) untuk merehabilitasi hutan kritis sekaligus meningkatkan penyerapan dan penyimpanan karbon.
Demikian terungkap pada diskusi Pojok Iklim yang berlangsung di kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rabu (6/12/2017). Pojok Iklim adalah forum multi pihak untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Plt Kepala KPHP Kerinci Neneng Susanti menjelaskan, saat ini sekitar 70% kondisi hutan produksi di Kerinci, jambi sudah ditempati masyarakat untuk kegiatan perkebunan dan pertanian. “Tekanan terhadap hutan di Kerinci memang sangat tinggi,†kata dia.
KPHP Kerinci memiliki luas areal pengelolaan seluas ±34.250 hektare berdasarkan SK.960/Menhut-II/2013 tanggal 27 Desember 2013. Menurut Neneng, program rehabilitasi bukan tak pernah dijalankan. Namun program tersebut belum menemui hasil. “Lahan yang dulu menjadi lokasi rehabilitasi kembali menjadi lahan kritis,†kata Neneng.
Meski menghadapi banyak tantangan, namun hutan produksi di Kerinci memiliki banyak potensi yang bisa dikembangkan. Berbagai hasil hutan bukan kayu seperti madu, kayu manis, dan kopi potensial untuk dikembangkan. Potensi jasa lingkungan seperti tata air dan wisata juga tersedia diantaranya air terjun Pancaro Rayo dan Gua Kabah Kasah.
“Pengembangan potensi hutan harus dilakukan dengan melibatkan masyarakat sebab sebagian besar hutan sudah ditempati masyarakat. Hutan produksi di Kerinci pun dikenal dengan Hutan Produksi Pola Partisipasi Masyarakat (HP3M) yang sekarang terkenal dengan perhutanan sosial,†katanya.
Salah satu upaya pengembangan perhutanan sosial yang sedang dilakukan adalah dengan mengujicoba PES. Melalui PES, diberikan insentif dana bagi pelaku pengelola hutan atas keberasilan melaksanakan upaya perlindungan dan pelestarian hutan. Keberhasilan diukur dari perubahan tutupan hutan dan keberadaan pohon di dalamnya.
“Kami bekerja sama dengan WWF dan Flora fauna Internastional untuk uji coba PES,†katanya.
Uji coba dilakukan di Hutan Adat Biang Sari seluas 180,63 hektare. Dari luasan tersebut, ditetapkan zona rehabilitasi seluas 113,50 hektare. Selain itu disiapkan kelembagaan dan program rehabilitasi yang akan dilaksanakan. Sementara baseline yang ditetapkan adalah kerapatan pohon sebanyak 26 pohon per hektare atau 21,54 ton setara karbondioksida.
Neneng menjelaskan, skenario proyek yang dikembangkan adalah melakukan penanaman di zona rehabilitasi dengan target, 400 batang per hektare dengan komposisi Nangka (Artocarpus heterophyllus) sebanyak 100 pohon per hektare, Cempedak (Artocarpus integer) 100 pohon per hektare, Durian (Durio zibethinus) 100 pohon per hektare, dan Jengkol (Pithecellobium jiringa) 100 pohon per hektare.
Menurut Neneng, jika skenario ini berjalan, maka total penyerapan karbon selama 15 tahun ke depan di lokasi itu mencapai 63.189,36 ton setara karbondioksida. “Setahun penyerapannya bisa mencapai 4.212,62 ton setara karbondioksida atau 37,12 ton setara karbondioksida per hektare per tahun,†katanya.
Neneng melanjutkan, masyarakat akan mendapat insentif sebanyak Rp100 juta jika hasil monitoring menunjukan kerapatan penanaman lebih dari 400 pohon per hektare. Jika kerapatan penanaman lebih dari 300 pohon namun tidak sampai 400 pohon per hektare, maka insentif yang akan dibayarkan sebesar Rp50 juta. “Jika kerapatan penanaman kurang dari 300 pohon per hektare, maka insentif tidak dibayarkan,†katanya.
Neneng menjelaskan, proyek ujicoba PES ini akan berlangsung selama tiga tahun. Pada saat proyek ini berakhir, pihaknya telah menyiapkan exit strategi agar masyarakat mau terus menjaga hutannya. Salah satunya adalah pengembangan agroforestry. Ini salah satu alsan mengapa pohon yang ditanam adalah jenis multiguna.
Selain itu, lanjut Neneng, pihaknya juga memperisapkan agar lokasi hutan yang dikelola masyarakat disertifikasi pada pasar karbon sukarela dengan berdasarkan pengembang Plan Vivo. *