Jakarta, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rabu, 14 November 2018. Berbicara mengenai kebijakan fiskal dan sumberdaya alam lingkungan tidak lepas dari tujuan utama bersama yaitu pembangunan berkelanjutan. Namun saat ini, kebijakan fiskal untuk alokasi sumber daya alam dan lingkungan hidup di Indonesia masih belum memenuhi standar pengurangan emisi dan belum dilaksanakan secara efektif.
Hal tersebut diduga karena terbatasnya ruang gerak fiskal sehingga pendanaan untuk alokasi lingkungan hidup menjadi kecil. Oleh karena itu, diperlukan penataan lingkungan hidup yang lebih baik. Berangkat dari hal tersebut,Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim (DPPPI) melalui forum diskusi Pojok Iklim mengumpulkan para pemangku kepentingan yang ahli di bidangnya masing-masing dengan tema "Kebijakan Fiskal pada Sektor Sumber Daya Alam dan Lingkungan" di Kantor Pusat Kementerian LHK, Jakarta (14/11).
Diskusi ini mengundang beberapa narasumber antaralain : Joko Tri Haryanto sebagai perwakilan dari pusat kebijakan pembiayanan perubahan iklim dan multilateral, membahas mengenai desentralisasi fiskal dalam aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Juga ada Agus Sari, CEO Landscape Indonesia yang membahas mengenai Instrumen finansial untuk penataan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Joko menyampaikan bahwa isu perubahan iklim sejatinya dapat ditinjau dari aspek politik dan anggaran tidak dapat terwujud tanpa adanya aspek politik. Indonesia sendiri sebenarnya sudah memiliki alat untuk mendeteksi alokasi anggaran Negara terhadap isu perubahan iklim dan lingkungan, tetapi belum diketahui secara detail, berapa emisi yang diturunkan pada setiap rupiah yang dikeluarkan.
Joko juga menyampaikan mengenai TAPE yaitu Transfer Anggaran Provinsi berbasis Ekologis untuk konservasi. Program TAPE memberikan kesempatan bagi pemerintah tingkat provinsi untuk berkontribusi dalam pencapaian target pemerintah pusat seperti NDC (National Determined Contribution) dalam penurunan emisi karbon. Program TAPE merupakan dana netral terhadap APBD Provinsi dimana alokasi dasar ditambah dengan sejumlah insentif yang diberikan kepada Kabupaten/Kota apabila berhasil mempertahankan wilayah hutannya. Sejauh ini program TAPE sudah berjalan, dan diharapkan dapat digunakan untuk pembangunan lainnya. Pengawasan program tersebut menggunakan budget tagging atau budget tracking, sedangkan untuk alokasi dana antar kabupaten dilakukan melalui program PES. Menurut Joko, alokasi pendanaan ini perlu dikoneksikan agar bisa terikat satu sama lain, dan Kementerian LHK menjadi pusat dari segalanya.
Agus Sari selaku perwakilan dari Instrumen Finansial untuk Penataan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyampaikan mengenai keikutsertaan sektor swasta dalam isu lingkungan. Kebutuhan investasi Negara berkembang yaitu sebanyak 3,3 triliun dollar per tahun dan untuk mencapai tujuan SDGs diperlukan anggaran sebanyak 6 trilliun dollar pertahunnya, Indonesia diketahui menjadi pendonor terbesar dalam hal adaptasi dan mitigasi 4 -6 tahun yang lalu.
Menurut Agus, sector swasta dapat berkontribusi dengan mendanai kegiatan lingkungan. Agus sari memberikan perumpamaan keterlibatan swasta dalam kegiatan lingkungan seperti ini, terdapat suatu lansekap dimana ada hutan yang harus dijaga di dalammnya. Lalu di dalam lansekap ada aliran air dan masyarakat. Apabila lansekap tersebut hilang maka aliran sungai akan hilang,sehingga tidak adanya pencaharian dari masyarakat. Dengan demikian masyarakatdidalam lansekap itu akan miskin.
“Ini merupakankondisi alam. Ada keuntungan sesaat akibat pengrusakan lingkungan. Namun kerugian yang dihasilkan ternyata lebih besar. Ada 2 pihak yang langsung terlibat; pihak yang merusak dan pihak yang terkena rusak. Yang paling dirugikan adalah perusahaan-perusahaan perkebunan dan masyarakat" ujar agus menambahkan.
Selain itu Agus juga menekankan bahwa pemerintah dapat bekerja sama dengan swasta dengan cara mewajibkan swasta untuk mencapai target tertentu. Swasta pun dapat bertukar target sesuai kapasitas mereka. Pertukaran target tersebut menjadikan anggaran yang digunakan menjadi lebih murah. Adanya TAPE yang telah disampaikan Joko sebelumnya membuat pertukaran target menjadi lebihmurah. Pertukaran target dapat dipecah kebeberapa provinsi diikuti dengan melakukan perhitungan rupiah per tahunnya.
Agus juga sempat menyampaikan mengenai Environmental bond dan Green Sukuk yang merupakan surat utang Negara pertama di Indoneisa. Menurut Agus, surat utang Negara dapat dikeluarkan untuk menggalang pendanaan untuk lingkungan. Uang yang telah digalang digunakan untuk kegiatan lingkungan hidup, setelah itu utang dapat dibayar melalui kegiatan yang result based atau berprofit.
“Pendanaan yang dibutuhkan oleh ESDM adalah untuk renewable energy, potensi pengembangannya akan sangat bagus jika menggunakan green sukuk†begitu ujar Agus.
Menurut Agus, blended finance dapat dilakukan melalui realokasi risiko, dengan catatan semakin tinggi risiko semakin tinggi pula pendapatannya. Selain itu perlu adanya peraturan yang mendukung untuk membuat instrumen lingkungan seperti kebijakan dan peraturan pengelolaan lingkungan, pengelolaan dana, dan asset class dari hasil layanan ekosistem (penurunan emisi) agar dapat berjalan dengan baik.
Kegiatan ini menjadi bagian dari upaya keras KLHK bersama para pemangku kepentingan untuk dapat mewujudkan kebijakan fiskal yang memenuhi standar pengurangan emisi dan menjadi efektif terhadap alokasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup, sehingga diharapkan fiskal mendapatkan ruang bebas mencapai pemanfaatan desentralisasi fiskal dan instrumen finansial untuk penataan dan pengelolaan lingkungan hidup.