Perubahan iklim memberikan pengaruh berbeda kepada laki-laki dan perempuan serta kehilangan kekayaan biodiversitas, khususnya kehilangan akses atas sumber daya alam milik bersama (common property). Perempuan adalah yang paling rentan terhadap perubahan/kerusakan lingkungan, kemiskinan, dan menurunnya derajat kesehatan. Sebuah studi yang dilakukan oleh the London School of Economics and Political Science terhadap 141 negara yang terkena bencana pada periode 1981-2002 menemukan kaitan erat antara bencana alam dan status sosial ekonomi perempuan. Penelitian dari Lembaga Oxfam dan UN Office for Disaster Risk Reduction tahun 2005 menyebutkan sedikitnya 173.000 dari 180.000 korban meninggal pada gempa dan tsunami Aceh adalah perempuan. Ketika elombang panas di Perancis terjadi pada tahun 2003, perempuan merupakan 70% dari 15,000 korban meninggal. Selain itu, korban badai Katrina di Amerika Serikat (AS) adalah mayoritas perempuan miskin keturunan Amerika-Afrika, yang termasuk kategori masyarakat miskin di AS. Perempuan di banyak negara berkembang bertanggung jawab dalam peran untuk memenuhi kebutuhan keluarga, termasuk air bersih dan makanan. Namun bencana alam, yang bukan merupakan situasi normal, semakin mempersulit akses perempuan terhadap berbagai sumber daya, seperti air, sanitasi dan energi untuk memasak.
Narasi perempuan dalam konservasi hutan dan alam merupakan pendorong vital dalam pemulihan alam di era perubahan iklim. Perempuan pada umumnya tidak memiliki lahan dan kemudian sangat bersandar pada alam, seperti sumber makanan, sumber daya energi, obat-obatan, dan lainnya yang menjadi sumber pangan utama maupun untuk menopang perekonomian. Maka dari itu, perempuan mendapatkan dampak langsung dan paling banyak dari rusak atau gagalnya usaha konservasi.
Hubungan yang inheren antara kemiskinan, kebermanfaatan biodiversitas dan gender serta implikasi simultan dari rangkaiannya membutuhkan pendekatan yang multidisiplin dan holistik serta pemahaman gender untuk dapat mencapai hasil yang berkelanjutan. UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya perlu memasukkan perspektif kesetaraan gender sebagai bagian dari pemenuhan hak-hak asasi manusia, inklusifitas, dan pengelolaan kolaboratif sehingga konservasi tersebut menjadi tanggung jawab semua lapisan dan golongan masyarakat.
Narasumber:
"Program Desa Bambu Agroforestri Sebagai Upaya Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim Serta Pengarusutamaan Gender", Unduh Materi
Monica Tanuhandaru - Direktur Eksekutif, Yayasan Bambu Lestari
"Krisis Gender, Pandemi COVID 19, dan Regenerasi Kapitalisme", Unduh Materi
Dr. Dewi Candraningrum - Dosen, Peneliti & Pelukis
"Gender, Konservasi, dan Perubahan Iklim", Unduh Materi
Dr. Ayu Dewi Utari - Kepala Biro Perencanaan, KLHK
Moderator:
Yulia Sugandi, Ph.D - UNDP Accelerator Lab