Arapaima gigas sebagai spesies invasif harus dieradikasi, karena apabila tidak akan menjadi ancaman yang lebih besar terhadap lingkungan barunya. Selain kasus ini, banyak lagi ancaman invasif baik dari golongan hewan maupun tumbuhan. Oleh karena itu, biosecurity harus ditingkatkan lagi di titik-titik masuk negara Indonesia untuk mencegah mereka masuk.
Demikian mengemuka saat diskusi Pojok Iklim di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rabu (11/7/2018). Pojok Iklim adalah forum multi pihak untuk berbagi pembelajaran dan praktik terbaik dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Diskusi kali ini dipimpin Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati, Ibu Indra Exploitasia, dan turut dihadiri Ibu Laksmi Dhewanthi, Staf Ahli Menteri Perindustrian dan Perdagangan Internasional.
Peneliti Badan Litbang dan Inovasi Kementerian LHK (BLI KLHK), ibu Titiek Setyawati menuturkan, ikan A. gigas dapat tumbuh besar hingga 3 meter panjangnya, memiliki rahang seperti buaya, dan sebenarnya sudah lama terintroduksi di Indonesia. “Dahulu pernah ada di Sungai Ciliwung dan Batam. Bahayanya, ikan ini dapat menyerang dan menelan orang,†ujar Ibu Titiek. Kasus yang terbaru adalah pelepasan Arapaima ke Sungai Brantas. Mengejutkannya, diketahui ada pengoleksi yang memelihara ikan ini sampai dengan 30 ekor banyaknya. Padahal spesies ini sudah dilarang masuk ke Indonesia berdasarkan permen KKP No. 41 tahun 2014.
Bahaya dari spesies invasif adalah dengan diintroduksinya ke lingkungan baru, ikan Arapaima akan memakan ikan lain dari diet biasa di daerah asalnya (Amazon). Hal ini dapat mengakibatkan spesies berubah ke arah yang tidak bisa ditentukan. Perubahan iklim yang bersifat compounded alias saling memperparah dengan spesies invasif, contohnya saja Arapaima yang dalam kelembapan harusnya berbeda dengan Brazil masih bisa bertahan di Indonesia. Maka dari itu dari sekarang BKIPM (Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu) perlu mengeradikasi sampai bibit spesies ini.
Tidak hanya hewan seperti Arapaima yang menjadi ancaman, namun terdapat pula tumbuhan baik yang merupakan spesies asli maupun bukan memiliki sifat invasif. Contohnya di Kelimutu, dimana perubahan iklim menjadikan tumbuhan Austroeuphatorium sp berbatang besar hingga 5 cm sehingga mereka akhirnya mendominasi dan harus ditebang. Juga ada di daerah Puncak, bambu Cina yang bisa merambat naik ke ketinggian di atas 1500 m karena temperatur yang naik. Bahkan, 26 dari 52 taman nasional di Indonesia telah dilaporkan terinvasi spesies asing. Hal ini menjadi tantangan besar bagi Indonesia.
Tantangan yang sekarang dihadapi oleh Indonesia adalah spesies invasif/IAS belum masuk kedalam kebijakan perubahan iklim, dimana sebaiknya dilakukan promosi penanaman jenis lokal ketimbang jenis asing dengan resiko invasif. Prioritas pengelolaan ekosistem pun belum mempertimbangkan kerentanan terhadap perubahan iklim. Ada baiknya juga kita mencontoh New Zealand yang memiliki biosecurity tinggi di pre-border maupun post-border mereka untuk mencegah masuknya spesies asing.