Sebagai industri ekstratif, industri semen bisa berkontribusi pada pengendalian perubahan iklim dengan memanfaatkan sampah dan limbah bahan beracun dan berbahaya.
Demikian terungkap pada diskusi Pojok Iklim yang digelar di kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Jakarta, Rabu (28/3/2018). Dalam diskusi yang dipimpin oleh Kepala Pusat Standardisasi LHK Noer Adi Wardojo itu hadir perwakilan dari PT Holcim Indonesia, Oepoyo Prakoso. Turut hadir dalam kesempatan tersebut Penasihat Senior Menteri LHK Soeryo Adiwibowo dan Staf Ahli Menteri LHK Bidang Industri dan Perdagangan Internasional Laksmi Dhewanthi.
Pojok Iklim adalah forum diskusi multipihak sebagai tempat berbagi pengetahuan dan aksi terbaik dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Diskusi yang digelar juga diikuti oleh peserta dari Kantor Badan Litbang dan Inovasi di Bogor dan Palembang melalui layanan video streaming.
Perwakilan Holcim Oepoyo menuturkan, ada tiga jurus yang dilakukan industri semen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK). Pertama adalah dengan mengurangi penggunaan bahan bakar berbasis fosil. Salah satu yang bisa dimanfaatkan adalah sampah biomassa yang selama ini dibakar di insenerator atau sekadar ditimbun di tempat penampungan sampah. "Kami menggunakan limbah sisa kayu untuk pembangkit energi", kata Oepoyo.
Cara lain yang sedang dikembangkan Holcim adalah membangun fasilitas pengolahan sampah Refused Derived Fuel (RDF). Fasilitas ini akan mengeringkan sampah organik basah sehingga bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar. Holcim sudah membangun fasilitas RDF di Cilacap, yang bisa mengolah 120 ton sampah organik basah menjadi 40 ton bahan bakar alternatif. Fasilitas itu akan beroperasi pada akhir tahun 2018. "Dengan fasilitas ini, kulit pisang bisa diubah menjadi kering seperti kerupuk sehingga bisa dimanfaatkan untuk bahan bakar", kata Oepoyo.
Jurus kedua yang dilakukan industri semen dalam pengurangan emisi GRK adalah dengan menggunakan teknologi yang lebih irit listrik dan panas di pabrik. Jurus terakhir adalah dengan mensubtitusi bahan baku pembuatan semen setengah jadi atau yang biasa disebut klinker.
Oepoyo menuturkan, di masa lalu semen terbuat dari campuran klinker dan adiktif dengan komposisi 90:10. Klinker merupakan semen setengah jadi yang memiliki kandungan CO2 tinggi. Kini, komposisi klinker diturunkan hingga 75% dan bahan bakunya disubtitusasi dengan bahan rendah kandungan CO2 seperti fly ash dan bottom ash, limbah sisa pembakaran batubara. "Kini kandungan CO2 pada produk semen lebih rendah", katanya.
Oepoyo menuturkan, pihaknya melakukan pengukuran emisi GRK mengacu kepada standard organisasi bisnis WBCSD yang juga mengacu ke IPCCC. Hasil perhitungan mengungkapkan, sejak tahun 2010-2017, Holcim telah mengurangi 8,8 % net emisi CO2 per ton produk semen yang dihasilkan. Dari 715 kg CO2 per ton produk semen menjadi 652 kg CO2 per ton produk semen.
Sementara itu Amsor dari Direktorat Penilaian Kinerja Pengelolaan Limbah B3 dan Limbah Non B3 KLHK menuturkan, pihaknya mendorong seluruh industri semen di tanah air untuk meningkatkan pemanfaatan fly ash dan bottom ash. "Saat ini semua industri semen sudah memanfaatkan limbah tersebut," kata Amsor.
Hanya saja, persentasenya masih perlu ditingkatkan. Saat ini penggunaan limbah fly ash dan bottom ash baru dimanfaatkan sekitar 5% dari proses produksi semen. Sementara di jepang, persentasenya sudah mencapai 60%.
Trisia Megawati