Sebagai negara dengan garis pantai terpanjang ketiga di di dunia setelah Kanada dan Norwegia, Indonesia memiliki sebaran ekosistem mangrove terluas di dunia, yakni sekitar 20% atau 3,49 juta hektar dari luas total mangrove dunia. Berdasarkan data One Map Mangrove, luas ekosistem mangrove di Indonesia sekitar 2,2 juta hektar yang berada di dalam kawasan hutan dan 1,3 juta hektar di luar kawasan hutan, yang tersebar di 257 kabupaten/kota. Ekosistem mangrove yang sehat berfungsi penting sebagai pencegahan abrasi, menahan badai, dan menyaring pencemar kasar. Ekosistem mangrove juga memberikan manfaat penting sebagai tempat hidup serta pemijahan biota laut sehingga mampu menyediakan sumber makanan bagi beberapa spesies yang ada. Kedua hal tersebut menunjukkan manfaat ekologis mangrove bagi masyarakat pesisir Indonesia. Di samping itu, ekosistem mangrove juga dapat dijadikan sumber penghidupan melalui kegiatan obyek wisata, sumber bahan kayu dan non kayu, terutama bagi masyarakat yang kehidupannya tergantung pada ekosistem mangrove tersebut.
Dari perspektif mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, hutan mangrove memiliki potensi yang sangat tinggi. Mangrove dapat menyimpan karbon 3-5 kali lebih tinggi daripada hutan terestris lainnya. Secara global, estimasi simpanan karbon pada ekosistem mangrove di dunia rata-rata sekitar 1.023 tonC/ha1. Hasil analisis Wahyudi et al. (2018)2 menunjukkan bahwa rata-rata simpanan karbon sebesar 891,70 ton/ha dengan potensi cadangan karbon total mangrove nasional sebesar 2,89 TtC.
Alih-alih memiliki nilai-nilai strategis tersebut, hampir sekitar 1,82 juta hektar mangrove pada tahun 2018 mengalami kerusakan akibat alih fungsi lahan. Ekosistem mangrove di Indonesia juga terancam terdegradasi mencapai 52 ribu hektar setiap tahun jika tidak segera diselamatkan. Pemerintah sudah sejak beberapa tahun yang lalu memberikan perhatian lebih pada pengelolaan mangrove dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 73 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove, kemudian dilanjutkan dengan penerbitan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Permenko) Nomor 4 Tahun 2017 tentang Kebijakan, Strategi, Program dan Indikator Kinerja Pengelolaan Mangrove Nasional.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan pemerintah daerah berkontribusi besar dalam pelaksanaan implementasi kebijakan pengelolaan mangrove dengan mengeluarkan aturan seperti Permen LHK Nomor P.105/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan, Kegiatan Pendukung, Pemberian Insentif, Serta Pembinaan dan Pengendalian Rehabilitasi Hutan dan Lahan, Permen KP Nomor 24/PERMEN-KP/2016 tentang Tata Cara Rehabilitasi Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil, penyusan rencana nasional, penyusunan satu peta mangrove, dan peraturan serta rencana lainnya. Bentuk keseriusan pemerintah Indonesia dalam mengelola ekosistem mangrove tercermin juga dari updated NDC yang sedang dirumuskan dan dari hasil-hasil sidang United Nations Environment Assembly ke4 (UNEA-4) tahun 2019 lalu, di mana Indonesia berhasil memprakasai 5 dari 23 resolusi yang disepakati, salah satunya adalah pengelolaan mangrove yang berkelanjutan.
Tersurat di dalam Permenko 4/2017 penetapan target ekosistem mangrove dengan kategori baik seluas 3,49 juta hektar pada tahun 2045. Sehingga dalam mencapai target tersebut, kementerian/lembaga (K/L) penanggung jawab menyusun rencana aksi pengelolaan ekosistem mangrove dalam program kerja K/L dan pemerintah daerah, bekerjasama dengan lembaga penelitian, universitas, lembaga swadaya masyarakat, organisasi nasional/internasional, BUMN dan pemangku kepentingan lainnya serta masyarakat dalam mengimplementasikan regulasi terkait demi mewujudkan tata kelola mangrove yang berkelanjutan di Indonesia. Berdasarkan hal-hal di atas, maka akan dilaksanakan diskusi terkait dengan perwujudan tata kelola mangrove yang baik dan pelaksanaannya di lapangan dalam forum Pojok Iklim – KLHK.
Materi dapat diunduh disini.