Deforestasi dan degradasi hutan
bertanggung jawab atas sekitar sepuluh hingga lima belas persen dari emisi gas
rumah kaca (GRK) dunia yang disebabkan oleh aktivitas antropologi dan
pembakaran lahan gambut yang terkait dengan pembabatan hutan sehingga selanjutnya
menyebabkan penambahan GRK sebanyak tiga persen. Di beberapa negara seperti
Indonesia, deforestasi dan degrasi hutan merupakan sumber emisi yang
diperhitungkan dan menjadi perhatian besar. Kehilangan tutupan hutan global
berarti kehilangan kemampuan alami hutan untuk menyerap karbon dan kapasitas
penyimpanannya, yang berarti memperbesar emisi dari sumber-sumber lain. Hutan
merupakan bagian dari lansekap dunia sehingga tata kelola hutan juga menjadi
perhatian dalam kegiatan mitigasi perubahan iklim. Beberapa pemangku kepentingan
skala nasional dan internasional mulai dan telah melakukan kegiatan mitigasi
berbasis manajemen hutan tropis untuk menciptakan lansekap yang berkelanjutan.
Salah satu pemangku kepentingan tersebut adalah Heart of Borneo (HoB).
HoB adalah inisiatif dari tiga negara;
Brunei Darussalam, Indonesia, dan Malaysia untuk mengelola hutan tropis dataran
tinggi di Kalimantan yang didasarkan pada prinsip konservasi dan pembangunan
berkelanjutan. HoB mengacu pada kegiatan utama dari pulau dimana hutan tetap
utuh. Menutupi wilayah seluas Utah di AS, Victoria di Australia atau seluruh
Inggris dan Skotlandia disatukan dan meluas ke wilayah Brunei Darussalam,
Indonesia, dan Malaysia, merupakan salah satu hutan hujan lintas batas terbesar
yang tersisa di dunia. HoB bukan hanya harta karun keanekaragaman hayati, namun
juga sebagai sumber kehidupan dan mata pencaharian masyarakat, memberikan
layanan ekologis untuk setidaknya 11 juta warga Kalimantan, termasuk satu juta
orang Dayak yang tinggal di hutan. Salah satu fungsi HoB adalah menara air,
dimana 14 dari 20 sungai besar di pulau Kalimantan yang bersumber dari HoB (sungai
Barito, sungai Kapuas, sungai Mahakam, dan lain-lain). Borneo yang merupakan
pulau terbesar ketiga di dunia, menyumbang hanya 1% dari lahan dunia namun
memiliki sekitar 6% dari keanekaragaman hayati global di hutan tropisnya yang
kaya. Spesiesnya beragam, mulai dari orang utan Kalimantan dan gajah yang
berbeda hingga tanaman pitcher raksasa dan bunga rafflesia.
Selain HoB, terdapat Tropical Forest Alliance 2020 yang merupakan kerjasama pemerintah-swasta di tingkat global. Sebagai pemasok global utama komoditas berbasis lahan, seperti minyak kelapa sawit dan pulp dan kertas, Asia Tenggara sangat penting untuk menunjukkan bukti-bukti dampak penggunaan lahan berkelanjutan yang menggabungkan perlindungan hutan dan pertumbuhan ekonomi. Meningkatnya jumlah perusahaan yang memproduksi atau sumber komoditas pertanian atau hutan diwilayah tersebut telah berkomitmen untuk menghilangkan deforestasi dari rantai pasokan mereka pada tahun 2020 dan bergerak menuju implementasi. Selain itu, pemerintah negara di Asia Tenggara, pemerintah lokal dan provinsi, LSM, organisasi masyarakat adat kini fokus pada cara mengurangi deforestasi dan kebakaran hutan dengan cara meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Inisiatif Asia Tenggara ini bertujuan untuk mempercepat transisi yang disebutkan di atas melalui empat alur kerja utama; memperkuat investasi berkelanjutan.
Dalam praktiknya, diperlukan skema
pendanaan yang matang, dan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI)
telah dan sedang melakukan skema bernama Tropical Forest Conservation Act
(TFCA), merupakan sebuah skema pengalihan utang untuk lingkungan antara
pemerintah Amerika Serikat (AS) dan pemerintah Indonesia (RI) berdasarkan
Undang-Undang Konservasi Hutan Tropis AS tahun 1998. Skema ini dapat digunakan
sebagai mekanisme untuk mengurangi hutang luar negeri bagi negara-negara yang
memiliki kekayaan hutan tropis yang tinggi kepada pemerintah AS. TFCA melakukan
kegiatan di dua wilayah, yaitu Sumatera dan Kalimantan dan salah satu program
prioritas TFCA di Sumatera adalah pengembangan dan mendukung kehidupan
masyarakat di sekitar hutan dengan memperhatikan perlindungan hutan tropis.
Dalam
praktiknya pula, hutan tropis yang berpotensi besar sebagai carbon sink dengan resiko deforestasi yang besar memerlukan
pengelolaan yang baik. Oleh
karena itu, kolaborasi antar pemangku kepentingan tersebut diperlukan untuk
mewujudkan pengelolaan lansekap yang berkelanjutan yang tentunya akan memberikan
dampak signifikan terhadap usaha adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di
Indonesia.
Materi dapat di unduh di DISINI