Dalam pendidikan lingkungan hidup (PLH), diperkenalkan konsep Segitiga Cinta yang dapat melandasi perbaikan dan pengelolaan lingkungan, termasuk untuk mengatasi perubahan iklim. Segitiga cinta ini terdiri dari Tuhan-manusia-alam. Konsep cinta diangkat karena orang yang jatuh cinta akan rela melakukan apapun yang terbaik untuk yang dicintainya. Hubungan antar Tuhan-manusia dan manusia-manusia memang sudah banyak didiskusikan dalam mata ajaran sekolah, namun hubungan kedua pihak dengan alam masih jarang didengar dalam dunia pendidikan.
Demikian mengemuka saat diskusi Pojok Iklim di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rabu (18/7/2018). Pojok Iklim adalah forum multi pihak untuk berbagi pembelajaran dan praktik terbaik dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Diskusi kali ini dipimpin Bapak Doddy Sukadri dari Yayasan Mitra Hijau, dan turut dihadiri Bapak Sarwono Kusumaatmadja, Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim.
“Selanjutnya, di dalam konsep Segitiga CInta Tuhan-manusia-alam, terdapat komponen penting Segitiga Cinta yang kedua, dan dapat diingat dengan istilah si kasep (KAASP),†ucap Ibu Latipah Hendarti, Direktur De Tara Foundation sebagai narasumber pada diskusi kali ini. “Dengan akal, hati, dan anggota tubuh yang telah diberikan, manusia perlu Knowledge (membenahi pengetahuan), Awareness (kesadaran akan lingkungannya), Attitude (perubahan perilaku), Skill (kemampuan untuk mengelola), dan Participant (mengajak yang lain).†Kemudian dikaji secara bermasyarakat, KAASP baru bisa berkelanjutan jika ada keharmonisan dengan alam. Indikator kesuksesan masyarakat harusnya tidak lagi hanya dari satu sisi yaitu ekonomi, tetapi juga dari sisi ekologi dan sisi sosial-budaya (konsep Segitiga Cinta yang ketiga).
Memang masih sering ada salah kaprah ketika berbicara perubahan iklim, contohnya perbedaan antara “iklim†(rerata cuaca dalam jangka waktu 30 tahun) dan “cuaca†(keadaan udara sesaat) itu sendiri. Apabila pengetahuan lingkungan seperti ini saja sudah tidak tepat, maka aksi-aksi yang dilakukan juga akan tidak tepat. Maka dari itu, PLH juga dikaji dari segi pendidikan informal dan nonformal. Pendidikan nonformal adalah pendidikan melalui kursus, ekstrakurikuler, diklat, dan sejenisnya, sedangkan pendidikan informal adalah pendidikan yang terjadi melalui interaksi di rumah tangga dan masyarakat.
“Sebetulnya, PLH sudah diramaikan sejak tahun 1970an (dimulai kebijakan PLH dari tahun 1972), namun belum dapat dijiwai dengan baik sampai ke perilaku masyarakat. Sekarang, jaringan PLH telah terbangun, dimulai dari tahun 1996 termasuk dengan berbagai LSM di dalamnya,†ujar ibu Latipah.
Mengubah seseorang berperilaku Non-Doer (bukan pelaksana) menjadi Doer & Advocate (pelaksana & advokat) mengikuti alur dari “dipaksa†menuju “memaksaâ€, baru mulai menjadi “bisaâ€, sudah “biasaâ€, dan diujung akan “menjadi budayaâ€. Terdapat 6 perilaku peduli lingkungan yang harus digalakkan: Air, Energi, Sampah, Pangan dan Sanitasi, Emisi, dan Konservasi Keanekaragaman Hayati. Contoh perilaku boros yang umum dilakukan adalah meninggalkan HP mencharge saat tidur, menyetel suhu AC yang terlalu dingin, dan membuka wastafel dengan kencang saat berwudhu. Dengan membiasakan diri menghindari perbuatan boros dengan menghemat penggunaan listrik dan mendaur ulang air misal air bekas cuci tangan dan wudhu digunakan untuk menyiram tanaman dan mengepel, kita sudah melakukan perilaku peduli lingkungan. Perilaku ini bisa dikembangkan di skala yang lebih besar seperti di masjid dan di sekolah, sehingga menjadi contoh cinta lingkungan secara bermasyarakat.
Selalu ada harapan untuk berubah. Dari kecil sebaiknya anak sudah diajarkan kebiasaan ramah lingkungan, seperti pentingnya daur ulang dan berkebun. Kedepannya, akan lebih baik jika ada direktorat khusus untuk pendidikan mengenai PLH. Dan perlu diingat bahwa mitigasi dan adaptasi tidak akan berhasil jika perilaku masyarakat tidak mau berubah.