Terbitnya Peraturan Pemerintah No. 46/2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup sedikit banyak telah memberikan petunjuk tentang instrumen-instrumen yang dapat digunakan dalam perdagangan emisi. Hal ini mewujudkan optimisme akan terwujudnya pasar karbon nasional sebagai bagian mitigasi perubahan iklim.
Selain Peraturan Pemerintah No. 46/2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup yang memuat instrumen-instrumen yang dapat digunakan dalam perdagangan emisi. KLHK juga sedang mendorong terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) tentang pendanaan perubahan iklim.
Dengan Perpres tersebut diharapkan akan semakin memperjelas aturan main bagi para pihak yang berkepentingan untuk terlibat dalam penurunan emisi GRK melalui aksi-aksi mitigasi. Perpres tersebut juga diharapkan dapat memperkuat upaya mewujudkan pasar karbon nasional. Hal ini terungkap pada Diskusi Pojok Iklim ke empat di Bulan Agustus yang diselenggarakan di Kantor Pusat KLHK Jakarta (21/8/2018).
"Ini acara ke empat dan sudah menjurus kepada instrumen mitigasi perubahan iklim berbasis pasar," ujar Sarwono Kusumaatmadja, Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim (DPPPI) - KLHK pada saat membuka Diskusi.
Sarwono menegaskan bahwa setiap negara harus siap dengan era baru ekonomi rendah karbon, Sarwono juga berharap masyarakat Indonesia harus membiasakan diri dengan kehidupan ekonomi yg baru ini demi pembangunan berkelanjutan.
Seperti diketahui bahwa Indonesia telah mempunyai Nationally Determined Contribution (NDC) yang disampaikan kepada UNFCCC pada bulan November 2016. Di dalam NDC tersebut Indonesia berkomitmen mewujudkan penurunan jumlah emisi GRK sebanyak 29% di bawah tingkat Bussiness-As-Usual (BAU) pada tahun 2030.
Komitmen penuruan emisi karbon tersebut merupakan salah satu bentuk usaha Indonesia mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Wahyu Marjaka, Direktur Mobilisasi Sumber Daya Sektoral dan Regional Ditjen Pengendalian Perubahan Iklim KLHK menyebutkan bahwa saat ini KLHK mendorong penyiapan badan pendanaan aksi-aksi mitigasi perubahan iklim melalui Perpres. Bentuk Badan Layanan Umum (BLU) merupakan bentuk yang dapat mengakomodir pendanaan ini.
"Kenapa kita optimis kepada BLU ini karena ini adalah salah satu pilihan terbaik untuk mendukung pendanaan aksi mitigasi nasional," ujar Wahyu.
Sementara itu Dida Gardera Asisten Deputi Pelestarian Lingkungan Hidup Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyebutkan bahwa, "Potensi penurunan GRK di Indonesia sangat tinggi dan sangat potensial untuk ikut dalam pasar karbon atau membuat pasar karbon nasional."
Dida menambah bahwa sektor industri dan energi memiliki potensi yang sangat besar untuk ikut dalam program mitigasi perubahan iklim. Dari beberapa upaya yang telah dilakukan dengan intervensi teknologi ramah lingkungan untuk mengefisienkan dan mengefektifkan produksinya. Terbukti sektor industri dan energi mampu menurunkan jumlah emisi di bawah angka emisi yang diperbolahkan dalam NDC kita.
Sementara itu Medrilzam Direktur Lingkungan Hidup Bappenas juga menilai bahwa pembangunan rendah karbon sudah menjadi arah pembangunan di Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan penyusunan RPJMN 2020-2024 yang disusun dengan memperhatikan pembangunan rendah karbon.
"RPJMN kedepan harus lebih hijau dan rendah karbon, ini sejalan dengan arahan Menteri kami Bambang Brodjonegoro," ujar Medrilzam.
Pembangunan rendah karbon maupun aksi-aksi mitigasi tentu membutuhkan pembiayaan ekstra. Oleh karena itu diperlukan instrumen yang dapat mendukung pendanaannya. Instrumen berbasis pasar merupakan salah satu sarana yang diketahui dapat mempercepat penurunan emisi.