Urbanisasi mengalami peningkatan di seluruh dunia. Saat ini lebih daripada 50% penduduk dunia tinggal di kota, dan jumlah tersebut akan meningkat sampai hampir 70% pada tahun 2050 (Stockholm Environment Institute 2014). Sebagai acuan, penduduk dunia pada tahun 2050 akan mencapai 10.7 milyar orang (United Nations 1999). Ini berarti bahwa ada kemungkinan pada tahun 2050 hampir 7.7 milyar orang akan tinggal di wilayah perkotaan. Jumlah yang besar ini, menjelaskan bahwa ada keharusan penting untuk mempersiapkan kota-kota di seluruh dunia untuk realitas ini.
Urbanisasi sudah terjadi di Indonesia dari tahun 1970 sampai 2010, penduduk perkotaan di Indonesia mengalami peningkatan dari 21 juta menjadi 123 juta orang (Kirmanto, Ernawi et al. 2012). Jumlah ini 6 kali lebih besar daripada 40 tahun yang lalu. Ada kemungkinan besar bahwa pada tahun 2050, penduduknya akan mencapai 180.2 juta (Kirmanto, Ernawi et al. 2012).
Ada beberapa kota yang mengalami tingkat urbanisasi yang sangat tinggi di Indonesia misalnya, Jakarta merupakan kota dengan penduduk padat. Kota Jakarta dikategorikan sebagai kota yang megacity oleh FAO karena penduduknya lebih dari 8 juta. Sebenarnya, penduduk Jakarta berjumlah 9.5 juta sementara wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) memiliki penduduk lebih banyak dari 27.9 juta (World Vision 2014). Sementara jumlah penduduk Jakarta lebih banyak, ruang terbuka hijau (RTH) berkurang setiap tahun. Pada tahun 1965 Jakarta masih memiliki RTH sampai 35%, tetapi pada tahun 2011, jumlah yang tersebut mengalami penurunan ke 9.3% (World Vision 2014). Hal ini menjadi masalah untuk manusia dan lingkungan, karena pemukiman di Jakarta padat sekali. Hal ini menjadi salah satu penyebab kemacetan dan penyebab terjadi banyak polusi di Jakarta.
Di seluruh Asia Tenggara, tingkat pencemaran udara mencapai PM2,5 termasuk kawasan perkotaan dan pedesaan- melebihi dua kali lipat dari tingkat yang direkomendasikan, dan hampir 40% dari penduduk terpapar oleh pencemaran rumah tangga dari pembakaran bahan bakar padat. Beberapa kota di kawasan ini memiliki hampir enam kali lipat dari tingkat yang direkomendasikan. Sebagai akibatnya sekitar 424.000 orang meninggal sebelum waktunya setiap tahun karena penyakit-penyakit yang berkaitan dengan pencemaran udara di Asia Tenggara.
Kegiatan perkotaan yang meliputi kegiatan sektor-sektor permukiman, transportasi, komersial, industri, pengelolaan limbah padat, dan sektor penunjang lainnya merupakan kegiatan yang potensial dalam merubah kualitas udara perkotaan. Pembangunan fisik kota dan berdirinya pusat-pusat industri disertai dengan melonjaknya produksi kendaraan bermotor, mengakibatkan peningkatan kepadatan lalu lintas yang merupakan salah satu sumber pencemar udara.
Apabila ditinjau dari aspek ekologi, pengembangan pertanian perkotaan dapat memberikan manfaat yaitu (1) konservasi sumber daya tanah dan air, (2) memperbaiki kualitas udara, (3) menciptakan iklim mikro yang sehat, dan (4) memberikan keindahan karena pertanian perkotaan sangat memperhatikan estetika (Blyth and Menagh, 2006; Cofie et al., 2006; Koscica, 2014; Setiawan dan Rahmi, 2004; Wolfe and Mc Cans, 2009) serta sebagai upaya mitigasi terhadap perubahan iklim (Specht et al., 2014). Pertanian perkotaan saat ini dianggap sebagai salah satu solusi dalam mengatasi pencemaran udara di wilayah perkotaan serta solusi untuk adaptasi perubahan iklim.
Materi dapat diunduh disini