1. KPHP Puncak Ngengas Batulanteh, NTB
Perubahan iklim, tidak hanya berdampak pada manusia, tetapi juga berdampak pada semua mahluk hidup di bumi ini. Dari banjir akibat curah hujan yang tinggi (tidak stabil) dan kemarau basah, perusakan hutan dan kebakaran hutan secara luas, kekeringan, peningkatan permukaan air laut, suhu bumi meningkat 2OC, merupakan kenyataan yang tidak bisa dipisahkan dari perubahan iklim. Greenpeace.org mencatat sekitar 2,2 milyar masyarakat Asia yang bermata pencaharian sebagai petani mengalami penurunan produksi akibat perubahan iklim.
Lebah hutan merupakan salah satu mahluk yang terdampak langsung tapi tidak banyak diperhatikan oleh kita semua, akibat perubahan ini. Sementara lebah hutan (wild bees/bee forest), merupakan salah satu agen penyerbuk (pollinators) tanaman hutan. Jika kemarau basah terjadi sepanjang tahun atau asap kebakaran hutan sepanjang tahun, maka siklus bunga sebagai sumber nectar/pollen akan terganggu kemudian produksi madu akan menurun drastis dan pendapatan petani dari madu hutan menjadi juga menurun.
KPH sebagai organisasi tingkat tapak, yang berada sepanjang tahun bersama petani, membangun strategi mitigasi perubahan iklim Balai KPH Puncak Ngengas Batulanteh NTB di Pulau Sumbawa telah berupaya mendorong strategi mitigasi dan mencatat betapa pentingnya lebah hutan sebagai sumber pendatapan masyarakat dan indikator kesehatan hutan. Diskusi Pojok Iklim kali ini juga akan membedah bagaimana keterkaitan antara tiga aspek yaitu : perubahan iklim – kelangsungan sumberdaya hutan – lebah hutan dan madu hutan sebagai sumber pendapatan masyarakat Sumbawa.
2. KPH Lakitan-BC, Sumatera Selatan
Provinsi Sumatera Selatan merupakan salah satu dari tujuh provinsi prioritas dalam penanganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Hal tersebut didasari atas terjadinya karhutla yang relatif parah terjadi sampai dengan periode tahun 2015. Terjadinya karhutla telah mengakibatkan terganggunya aktivitas masyarakat dan tersendatnya roda perekonomian serta gangguan kesehatan masyarakat akibat menghirup asap karhutla. Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan bertindak cepat dengan menetapkan siaga Darurat Karhutla lebih dini (tanggal 1 Februari 2017) dan Pembentukan Tim Pengendalian Karhutla tingkat provinsi.
KPH Lakitan-BC yang mengelola kawasan hutan seluas +100.960 ha dan wilayah pelayanan meliputi tiga kabupaten/kota yaitu Kabupaten Musi Rawas, Musi Rawas Utara dan Kota Lubuklinggau dengan luas lahan gambut +25.571 ha (25,33% dari total luas wilayah kelola). Kondisi lahan gambut tersebut sebagian besar telah diokupasi oleh masyarakat untuk usaha pertanian dan perkebunan. Ketika musim kemarau, areal lahan gambut tersebut rawan kebakaran sehingga menjadi perhatian utama dalam upaya Pencegahan dan Pengendalian Karhutla.
Pencegahan dan penanggulangan karhutla di daerah (Kabupaten) tidak akan berjalan tanpa adanya sinergitas stakeholder di daerah. KPH Lakitan BC sebagai pengelola hutan tingkat tapak mempunyai peran strategis dengan bahu-membahu bersama TNI (Kodim), POLRES, BPBD, dan Masyarakat Peduli Api (MPA) dalam pencapaian program zero asap di wilayah Sumatera Selatan. Pada diskusi Pojok Iklim kali ini, akan dibahas lebih lanjut peran dan strategi pengendalian perubahan iklim yang dilakukan KPH Lakitan-BC melalui upaya pencegahan dan pengendalian Karhutla yang antara lain berupa: 1. Pembentukan Brigade DALKARHUT KPH, 2. Pelaksanaan Aksi Daerah, 3. Pelaksanaan Kebijakan Daerah, 4. Program Ekonomi Berbasis Pencegahan Kebakaran, dan 5. Kampanye kebijakan larangan pembakaran lahan, Sosialiasi, dan Publikasi kebijakan.