Greenbelt adalah penemu teknologi pengolahan limbah menjadi energi terbarukan, dengan memanfaatkan limbah makanan atau limbah pertanian. Data Greenbelt menunjukkan, di kawasan Asia Tenggara, rata-rata dihasilkan sebanyak 127kg limbah/orang dalam setahun. Limbah ini umumnya diolah menjadi kompos agar dapat dimanfaatkan kembali. Di lain sisi, pengolahan limbah menjadi kompos dalam skala besar dapat menimbulkan masalah. Karena kompos memungkinkan sisa makanan membusuk, dan melepaskan metana (CH4) yang memiliki efek 84 kali lebih buruk daripada CO2 sebagai gas rumah kaca. Greenbelt dapat menkonversi limbah dengan sumber daya yang terbatas dan memperoleh nilai maksimum dari limbah. Hasil konversi limbah dapat berupa sumber bahan bakar (etanol), makanan, pupuk dan air bersih. Material limbah padat tertentu dapat dikonversi menjadi bahan bangunan dan pelet untuk listrik.
Dengan model-modelnya yang simple, menjadikan sistemnya tidak perlu dibangun/di-install layaknya sebuah pabrik, tapi bisa dipindah-pindahkan (mobile). Selain itu, terdapat pilihan skala kecil hingga besar sesuai kebutuhan. Greenbelt lebih mengedepankan ide untuk berperilaku ramah lingkungan, ketimbang menjual teknologinya.
Banyaknya kajian lingkungan perlu dibarengi kerangka umum yang dipahami dan diterima oleh para stakeholder, sehingga tercipta ruang untuk aplikasi kebijakan dan kajian tersebut, karena upaya mengatasi persoalan limbah ini merupakan tanggung jawab bersama.