Pasar karbon tetap bisa menjadi sumber pendanaan untuk mendukung pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) di Indonesia di bawah payung kesepakatan pengendalian perubahan iklim global, Persetujuan Paris.
Penasehat Senior Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nur Masripatin menjelaskan, berdasarkan Persetujuan Paris, setiap negara sudah mendaftarkan dokumen kontribusi Nasional yang diniatkan (Nationally Determined Contribution/NDC) dalam pengendalian perubahan iklim global. Namun dari dokumen yang telah didaftarkan, masih ada kesenjangan dengan target yang dibutuhkan untuk menjaga kenaikan suhu bumi kurang dari 2 derajad dari masa pra revolusi industri.
“Pasar karbon bisa menjadi salah satu instrumen mengisi celah tersebut,†kata Masripatin saat Diskusi Pojok Iklim di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rabu (8/8/2018).
Pasar karbon sempat bergairah ketika kesepakatan perubahan iklim global masih dituangkan pada Protokol Kyoto. Saat itu, negara-negara yang masuk dalam Annex I diberi kewajiban untuk menurunkan emisi GRK. Pendanaan untuk mendukung pengendalian perubahan iklim dari negara-negara tersebut pun meningkat. Namun ketika rezim pengendalian perubahan iklim memasuki tataran baru di bawah Persetujuan Paris pada tahun 2015, pasar karbon tengah dalam kondisi melesu karena target Protokol Kyoto telah berhasil dicapai negara maju.
Masripatin menegaskan, Persetujuan Paris tetap menyediakan ruang untuk pasar karbon dalam bentuk kerja sama sukarela untuk meningkatkan ambisi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, mendukung pembangunan berkelanjutan, dan menjaga integritas lingkungan. Namun, hal itu tetap dilakukan konteks NDC yang sudah didaftarkan masing-masing negara.
Ruang bagi pasar karbon yang tetap terbuka juga tak lepas dari perlu didorongnya peran Aktor di Luar Negara (Non State Actors), seperti swasta dan pemerintah daerah untuk berkontribusi dalam mitigasi perubahan iklim. Namun Masripatin mengingatkan pentingnya transparansi yang harus menjadi tulang punggung dari kerja sama yang dilakukan. Dalam hal ini, kerja sama yang dilakukan juga harus di daftarkan dalam Sistem Registri Nasional (SRN) pengendalian perubahan iklim agar dapat menjadi bagian dari NDC Indonesia sesuai panduan transparansi dalam Persetujuan Paris.
Sementara itu Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Kementerian Keuangan Parjiono menjelaskan pemerintah saat ini sedang merancang Badan Layanan Umum (BLU) sebagai akselerator pendanaan lingkungan hidup termasuk aksi mitigasi perubahan iklim. BLU tersebut merupakan amanah dari Peraturan Pemerintah (PP) No 46 tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup. “Draft-nya sedang dalam pembahasan,†katanya.
Parjiono menyatakan, pada tahun 2017 lalu terdapat Rp 81,7 triliun anggaran pemerintah yang dialokasikan untuk kegiatan terkait adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Namun dia menekankan, pendanaan perubahan iklim yang bersumber dari dana publik sangat terbatas, mungkin hanya mencukupi untuk 30-40% dari biaya pencapaian target NDC. Untuk itu, sumber-sumber pendanaan lain perlu diakselerasi termasuk yang digalang dari instrumen pasar karbon baik domestik maupun internasional. Untuk pasar karbon domestik, Parjiono menambahkan bahwa pekerjaan rumah semua pihak adalah mendiskusikan masalah supply, demand, regulasi dan instrumen yang dibutuhkan.
Sementara itu Ketua Asosiasi Semen Indonesia Widodo Santoso menuturkan sejumlah industri semen di Indonesia telah menurunkan emisi GRK dalam proses produksi sebagai dampak dari praktik pasar karbon. Beberapa proyek penurunan emisi di industri semen juga telah mengikuti Clean Development Mechanism (CDM) namun kebanyakan tidak diteruskan keikutsertaannya karena harga karbon internasional yang rendah. Dia berharap, pemerintah bisa memberi insentif bagi industri yang telah berhasil menurunkan emisi GRK berupa tax holiday atau diskon bunga bank untuk investasi. Widodo juga menyampaikan bahwa data emisi industri semen sudah sangat baik sehingga dalam hal ini sudah siap untuk berdagang emisi dengan sektor lain.
Pembicara lainnya, Joseph Hwang dari Gikoko Kogyo menyampaikan pengalamannya mengembangkan kegiatan mitigasi perubahan iklim di sektor pengelolaan sampah menjadi biogas di bawah CDM yang akhirnya tidak dapat berjalan karena harga karbon yang rendah. Joseph menegaskan bahwa pengelolaan sampah domestik saat tidak dapat berjalan tanpa insentif, baik yang berasal dari pasar karbon ataupun skema lainnya.