Jakarta, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rabu, 19 September 2018. Tata kelola hutan perlu mempertimbangkan berbagai aspek untuk mewujudkan hutan lestari di tengah perubahan iklim yang menjadi fokus berbagai sektor. Tata kelola hutan berpengaruh langsung pada aspek sosial ekonomi, sehingga kebijakan yang diambil juga harus memperhatikan implikasi hukum, sosial, dan ekonomi.
Untuk mendapatkan gambaran mengenai problematika tata kelola kehutanan dari kacamata akademisi, LSM, dan pemerintah serta masukkan tentang solusi terbaiknya, maka KLHK mengumpulkan para pemangku kepentingan dalam diskusi pojok iklim dengan tema " Masalah Tata Kelola Kehutanan dan Lingkungan dalam Era Perubahan Iklim dan Solusinya" di Kantor Pusat KLHK, Jakarta (19/8).
Diskusi ini mengundang beberapa narasumber antara lain: Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS Guru Besar Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor dan Prof. Dr. Ir. Yetrie Ludang, MP selaku Ketua Kamar Akademisi Dewan Kehutanan Nasional / Kepala PPLH LPPM Universitas Palangka Raya.
"Dari pertemuan ini kita perlu menginventarisasi masalah tata kelola kehutanan dari hulu ke hilir," ujar Sarwono Kusumaatmadja, selaku Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim (DPPPI) - KLHK pada saat membuka diskusi.
Tata kelola penting untuk meningkatkan indeks untuk tata kelola hutan. Tata kelola hutan harusnya meningkatkan proses yang ada, bukan malah tidak menghasilkan hal yang linier dengan yang diinginkan. Tata kelola melihat sisi objektif dimana terdapat berbagai kepentingan.
Hal tersebut dijelaskan oleh Hariadi Kartodihardjo, selaku Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB sekaligus Penasihat Senior Menteri KLHK, yang juga menambahkan bahwa konflik tata kelola hutan yang sering terjadi justru pada daerah-daerah dengan sumber daya alam yang melimpah. Faktor paling dominan dalam tata kelola di tingkat pemerintahan adalah sistem dan proses-proses serta instrumen yang menimbulkan masalah perizinan dalam pengelolaan lahan hutan.
"Akibat adanya berbagai kepentingan di daerah, banyak kepala daerah yang membuat proyek kehutanan untuk mengembalikan dananya. Semua moral hazard terjadi pada izin lingkungan dan amdal. Harganya bervariasi tergantung negosiasi, tidak dipublish namun sudah menjadi rahasia umum," ujar Hariadi.
Hariadi juga menekankan bahwa korupsi terjadi karena kebijakan administrasi yang tidak mengedepankan outcome dan pelayanan public di daerah yang lambat. Jika orientasinya menghasilkan anggaran, maka tata kelola tidak akan berjalan dengan baik.
“Pendekatan people –first biasanya timbul proses yang baik. Pendekatan pencegahan dapat dilakukan dengan tiga tahapan aksi: taktis, strategis, dan sistematis,†timpal Hariadi.
Sementara itu Yetrie Ludang menjelaskan bahwa pada prinsipnya, pengelolaan hutan lestari didasari oleh keseimbangan antara fungsi produksi, ekologi, dan sosial dengan melihat proses, mekanisme, dan aturan lembaga pengelola. Pengelolaan hutan juga harus melibatkan semua pihak yang mengetahui kondisi daerah termasuk partisipasi masyarakat. Namun harus ada reformasi tata kelola dimana akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan dan keberlangsungan produksi hutan.
"kelemahan tata kelola ruang di Kalimantan Tengah memiliki adalah tumpang tindih lahan. Pembangunan tidak sesuai dengan apa yang direncanakan. Semua lahan kosong dibangun padahal peruntukannya bukan untuk itu.," ujar Yetrie.
Yetrie juga menggarisbawahi bahwa kenyataannya pengembangan kelapa sawit pekerjanya berasal dari luar Kalimantan Tengah. Masyarakat seharusnya dilibatkan agar tidak merusak hutan. Masalah tata kelola ini bisa berakar dari pemerintah daerah provinsi yang diberi kewenangan untuk mengelola daerah. Untuk itu, diperlukan KLHS sesuai Permendagri no. 7 tahun 2017 agar bupati baru bisa dilantik.
Peranan hutan dalam perubahan iklim juga memerlukan moralitas dan etika dari pihak pengelola. Selain itu, operasional implementatif dan dampak perlu ditangkap secara spesifik sehingga tata kelola dapat terjamin dengan baik.
“Pencegahan tanpa penindakan tidak akan efektif.Target hanya simbolik target. Ini bukan penyimpangan individu tetapi hasil dari sistem yang memaksa untuk korupsi. Inovasi kelembagaan sangat minim dan yang ada hanya perubahan peraturan,†timpal Hariadi.
Selain itu, instrumen-instrumen lingkungan seperti one map dan social mapping penting dan diperlukan. Penggunaan teknologi dengan pemanfaatan limbah tandan kosong dari industri kelapa sawit yang dijadikan jamur merang dan pembangunan reactor gas dari limbah sawit yang per harinya mencapai 200.000 ton juga dapat menjadi inovasi yang bermanfaat untuk menyejahterakan masyarakat.
Sebagai penutup Chalid Muhammad selaku moderator menyatakan bahwa administrasi adallah problematika tata kelola yang sudah ada bertahun-tahun lamanya. Perlu pembenahan dari tiap tingkatan pemerintah agar rakyat tidak semakin menderita.
"kepemimpinan yang efektif pada setiap tingkat akan membuat tata kelola berjalan dengan baik, " pungkas Chalid.
Kegiatan ini menjadi bagian dari upaya keras KLHK bersama para pemangku kepentingan untuk dapat mewujudkan penurunan jumlah emisi GRK sebanyak 29% di bawah tingkat Bussiness-As-Usual (BAU) pada tahun 2030 seperti yang tercantum di dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) yang disampaikan kepada UNFCCC pada bulan November 2016.