Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement dengan komitmen NDC yang menargetkan penurunan emisi GRK yang disebabkan perubahan iklim sebesar 29% pada tahun 2030. Target penurunan emisi difokuskan pada 5 sektor, dimana 2 sektor terbesar adalah hutan 17,2% dan energi 11% (sektor energi berkontribusi 314 juta ton CO2). Pemerintah sudah menargetkan Indonesia agar mencapai bauran energi sebesar 23 persen EBT di tahun 2025. Untuk tahun 2024, Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RPJPP) ditargetkan memiliki kapasitas pembangkit listrik berbasis EBT mencapai 12,8 Giga Watt (GW), dan Rencana Usaha Penyediaan tenaga Listrik (RUPTL) sebesar 16,3 GW, sehingga ada selisih antara RPJPP dan RUPTL sebesar 3,5 GW. Sampai dengan akhir 2019, realisasi daya pembangkit yang terpasang baru mencapai 7,8 GW. Dengan demikian, masih ada defisit 5 GW untuk dapat mencapai target yang dipasang perseroan pada tahun 2024.
Salah satu sumber energi terbarukan yang bisa dikembangkan adalah bioenergi. Bioenergi dapat berasal dari biomassa cair, gas, atau padat yang dapat bervariasi menyesuaikan kebutuhan. Produk bioenergi terus dikembangkan mulai dari woodchip, wood pellet, DME, biomethanol, biodiesel “mudaâ€, Biobuthanol, dsb. Tujuan dikembangkannya bioenergy antara lain untuk mengurangi emisi GRK dan meningkatkan kualitas lingkungan. Potensi bioenergi untuk listrik dapat ditemukan dari hasil Hutan Tanaman Industri, dimana berbagai sumberdaya seperti kayu, singkong, sekam padi dan lain-lain bisa dibuat menjadi pellet atau LPG untuk dijadikan pembangkit biomassa atau mengganti sebagian bahan bakar fosil atau diesel dengan biomassa yang akan mengurangi emisi dan impor bbm.
Melalui diskusi Pojok Iklim kali ini, kita akan mengetahui bagaimana perkembangan bioenergi di Indonesia dan potensinya dalam meningkatkan kontribusi terhadap ekonomi nasional dan meningkatkan pasokan bahan baku bioenergi yang berkelanjutan.
Materi dapat diunduh di sini